p i e w . ZONE
Jumat, 18 Maret 2011
untitled
Rasanya, begitu lama tiada kabar. Banyak hal yang hanyut natural saat diputuskan menjauh dari bayangan menggenapi hati. Sementara kisah memang harus terikat dalam nama. Apalah itu,tolong menghindar ketika mengganggu terlalu dalam.
Minggu, 20 Februari 2011
Chacha untuk Annissa
“Manusia tidak akan pernah sanggup berjuang keras tanpa harapan. Itulah salah satu kalimat indah yang pernah kakakku tulis. Aku menyukainya. Bukan suka karena yang menulisnya adalah kakakku, tapi lebih dari itu. Setelah dia menjelaskannya untukku, aku mencari tahu, apa benar makna kalimat itu sama seperti apa yang dia jelaskan? Aku belajar mencarinya di buku Bahasa Indonesia bahkan sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi aku sama sekali tidak menemukkan apa yang kakak maksud. Aku menyesal tidak menyadarinya dari awal. Aku baru jelas memahami makna kalimatnya saat musibah itu akhirnya datang menimpa. Walau bukan datang untukku secara langsung, tapi aku bisa merasakan bagaimana menyedihkannya musibah itu.” Amanda mengghentikan ceritanya untuk memperbaiki jilbabnya yang melorot.
#*#
Bila duniaku mampu mengunggah seluruh kata, aku hanya ingin merangkainya menjadi satuan kalimat yang bermakna positif. Akan kuterjang olokan dan sampaikan pada mereka bahwa aku mau berbagi. Ingatan kisah yang kelam sekalipun, jika itu memang bernilai, akan ku paparkan pada mereka yang mau maju. Kisah tawa yang mustahil untuk kembali, akan ku bingkai untuk mereka juga.
“Mbak Chacha, jika aku dewasa nanti aku mau seperti mbak!” Bahagia tak terperi melihat anak kecil itu tersenyum sumringah dengan janji yang meyakinkan. Degup jantung, bahkan seluruh jiwaku terhentak medengarnya. Apalah lebihnya aku, Manda?
Senandung mentari sudah siap berlalu dan digantikan hawa panas akibat sorotan matahari yang meninggi. Amanda membuka lebar jendala yang menghadap tempat tidurku dan dia mengarahkanku untuk duduk menghadap langsung ke luar. Aku bisa melihat jelas suasana di luar. Satu pohon besar dengan daun bermekaran menghijau, menutupi sinar matahari yang menysup-nyusup masuk pekarangan rumah tua ini. Sehingga, dibalik jendela ini, aku masih merasa teduh. Kusaksikan dengan seksama, bagaimana pekarangan yang seminggu lalu masih hijau hanya dengan rerumputan, kini berceria dengan sentuhan warna kuning bunga bakung yang menggeliat. Ditambah lagi mawar warna-warni yang dipindah dari teras rumah ke pinggiran pagar. Amat mempesona dan menyejukkan. Menambah lengkap kebahagiaan di awal hari ini.
“Aku buatkan mbak segelas susu dan aku simpan sebatang coklat di sampingnya. Kalau aku pulang, aku mau semuanya sudah habis dilahap mulut Mbak Chacha! Hehehe,” dia nyengir dan mencium keningku. “Aku pergi Mbak!” Aku hanya sanggup membalas keramahan dan keeriaan itu dengan senyuman. Air mataku juga menetes. Terima kasih sayang, batinku. Segalanya terasa ringan lagi sekarang.
Mataku tertuju pada satu titik. Bunga mawar bewarna putih memikat. Seolah dia memangilku untuk berbagi bagaimana wanginya. Hatiku semakin riuh membayangkan bagaimana harumnya jika ku genggam setangkai saja mawar itu. Pikiranku melayang, menembus masa lalu yang kurasa penting untuk di ingat. Saat aku lulus sekolah, saat aku menjadi sarjana, saat pertama aku ditempatkan bekerja, ketika tulisan pertamaku meledak, dan bagaimana aku menyukai seorang lelaki. Kejadian selanjutnya, aku berusaha untuk tidak mengingatnya. Pedih, itu yang kuingat.
Dan lamunan ini berhenti, ketika seseorang membuka pintu. Aku menekan tobol berputar di kursi kesayanganku. Ibarat sebongkah es berukuran jumbo menghatam dada, aku terkejut melihat siapa yang berdiri di ambang pintu itu. Tubuhnya masih kekar, pundaknya yang datar masih tangguh di sana, bola matanya yang hitam pekat, masih seperti yang kuingat. Hanya kurasa dia sedikit kurus dengan kaos polo shirt putihnya dan potongan rambutnya sedikit lebih panjang dan lebat. Tanganya menggenggam seikat mawar putih, besar dan banyak.
“Chacha?” dia tersenyum sementara aku menikmati air mata yang sudah membasahi pipiku sedari tadi.
#*#
“Ketika itu, kakak memutuskan untuk belajar jauh dari rumah demi mendapatkan cita-citanya. Padahal dia sudah dapat pekerjaan yang menyenangkan di sini dan kakak baru lulus kuliah. Dua tahun lebih dia hanya menghubungi kami sekeluarga lewat email. Tapi beruntung, aku masih bisa membaca kata-kata mutiaranya, seperti salah satunya yang ku ingat; bahagia dan sedih selalu datang walaupun kau terlelap menutup mata. Ketika itu juga masih ku cari makna kalimat yang pernah kakak jelaskan sebelumnya.” Lanjut Amanda.
#*#
Terik panas matahari mulai meninggi membuat es yang menghujam jantungku perlahan mencair. Lama kami berdiam menikmati angan masing-masing. Senyuman selalu mengembang, matanya ceria tapi berkaca. Sudah kukatakan, aku tak sanggup untuk tidak menangis, bahagia dan terharunya aku. Seikat mawar putih itu dia letakkan dipangkuanku, aku hanya mengedipkan mata yang berair tanda terima kasih. Mawar putih memang selalu membawa nuansa tak terduga, seperti itulah yang kurasa. Baru saja aku membayangkan mencium setangkai baunya, sekarang seikat mawar putih sudah kudekap lemah.
Dia duduk di atas sofa memanjang depan ranjang, menghadap padaku. Dadaku berdegup senada dengan biru dan ceria. Aku memandanginya, matanya yang hitam pekat mempesona, auranya semakin cemerlang. Jika bisa, ingin kusentuh dan tahu bagaimana tekstur kulit pipinya sekarang dan mendengarnya marah setiap kali ku lakukan itu, dulu. Air mata semakin menderai. Dadaku berdegup makin kencang.
#*#
Amanda melanjutkan kisahnya di depan kelas.
“Suatu malam, tiba-tiba kami sekeluarga dikejutkan kabar tentang kakak. Aku masih ingat, bagaimana mama menangis dan jatuh pingsan berulang kali. Ingatanku juga masih sangat jelas, ketika kakak pulang denga mata dan mulut tertutup. Aku pikir, aku tak akan pernah melihatnya lagi, tapi beruntung, selang beberapa waktu, matanya terbuka dan bibirnya tersenyum. Bagian badan selebihnya, hanya bisa digerakkan kalau aku atau orang lain yang menggerakkannya.
Walau demikian, pikirannya masih dahsyat. Kakak masih sanggup menulis banyak cerita tanpa lengannya. Lima buku dalam sepuluh tahun ini dia tulis segenap kemampuannya. Pada awalnya, kakak menulis dengan mulutnya. Kakak gerakkan pensil dan bolpoint dengan mulutnya, lalu menulis apa yang dia rasakan atau butuhkan. Kakak bercerita, masih banyak yang ingin dia wujudkan untuk berkontribusi lebih baik terhadap dunia. Kakak sadar keadaannya sekarang, tapi kakak tidak mau hidupnya sia-sia.”
#*#
“Aku sudah membaca semua karyamu dan aku bahagia melihatmu seperti ini,” aku tahu, dia belum menyelesaikan kalimatnya, “aku... lebih dari bangga padamu,” aku juga yakin masih ada yang belum dia katakan. Lagi, hanya mata penuh air yang menrespon ucapannya. Hatiku lemas karena bahagia. Apakah dia mengerti perasaanku dulu, sekarang dan seterusnya?
“Kau tahu? Sejak saat itu, aku bangkit perlahan dan ingin mengenangmu. Aku menanam mawar putih sebanyak yang aku mampu. Setiap tangkai yang berbunga, aku menjaganya agar tidak layu karena aku membayangkan mawar putih itu adalah kau, Keyza Anantisya Olivae Wilhelmina, oh bukan, tapi Annissa Wildani.” Hatiku terenyuh. Ingin rasanya membiaskan warna pelangi jauh dari kahyangan, mendekapnya dihati dan kumiliki selamanya. Kau memanggil namaku sekarang.
“Bagaimanapun berusaha menjaganya, aku belum pernah bisa menahan mawar-mawar itu untuk tetap segar. Selalu ada masa ketika mawar-mawar itu harus layu dan mati. Tapi mereka juga tak pernah berhenti tumbuh menjadi baru. Seperti kau, selalu bersemangat untuk maju, bagaimanapun keadaanmu. Setiap kali mawar itu mekar, aku mebayangkan harapan-harapanmu yang lahir kembali. Duri yang tajam hanya ia gunakan ketika sekelompok orang berusaha mematikannya.”
Seberkas cahaya menyala-nyala di matanya yang berkaca. Tidak, dia mulai meneteskan air mata. Jika boleh, aku mau dia memelukku. Cahaya matahari makin terasa panas menyoroti tubuhku. Hatiku terlalu lumer dibuatnya.
Aku berusaha membungkukkan badan ingin mencium jelas harum mawarnya. Badanku terlalu gemetaran untuk melakukannya. Secara tangkas, dia mengangkat mawar mendekati wajahku. Menyejukkan harum yang ku rindukan, namun sedikit berbeda. Harum mawar ini, ada nuansa kehangatan kasih sayang. Dia menanamnya untukku. Kemudian, dia berlutut di depan kursi rodaku dan tetap memegangi mawar itu untukku.
“Cha..., maafkan aku,” lirihnya penuh penyesalan. Tangisku semakin menjadi. Mawar-mawar itu ikut basah.
#*#
Sepuluh tahun lalu, di Mellbourne.
“Aku mau menikah denganmu!”
“Apa?!”
“Kenapa kau begitu histeris? Aku.. mau.. menikah denganmu.” Dia diam bergeming. “Kamu ini kenapa, Ky?”
“Hhhm, Cha, itu tidak mungkin untuk sekarang ini.”
“Kenapa, Ky? Kita sama-sama sudah berkarir, dan aku yakin kau sudah siap untuk sebuah pernikahan.”
“Bukan itu masalahnya, Cha.” Dia membalik badan dan menajuh dariku. Setiap aku berusaha menatapnya, matanya berkeliaran entah kemana menghindari.
“Lalu? Karena keyakinan kita? Sudah ku katakan, aku mau berubah...”
“Cha, keyakinan bukan suatu hal yang harus kau pertimbangkan karena orang lain. Keyakinan itu dari sini,” dia menujuk dada dengan telunjuknya. “Jika hatimu yakin tentang apa yang ku yakini, maka tanpa keberadaanku disampingmu, sendirinya kau akan mengubah itu.”
“Lalu, why did you say that is impossible to marry with me?”
“Aku, masih harus menunggumu.”
“Menungguku? Menunggu sampai aku yakin dengan keyakinanmu? Rizky, aku butuh kamu untuk meyakinkanku.”
“Tidak, kau hanya perlu sedikit waktu untuk menyadarinya.”
“Apa? Sadar, Ky? Jadi kamu pikir selama ini aku tidak sadar dengan apa yang ku yakini? Begitu? Hah, kamu gila, Ky! Kamu pikir semua yang kamu yakini adalah benar? Kamu pikir kamu yang paling benar?”
“Bukan itu maksudku, Cha...”
“Lalu? Kau terlalu picik Rizky. Kalaupun kamu tidak bisa menerima perbedaan kita, itu urusanmu! Jangan telalu meng-undersetimate-kan yang berbeda denganmu.” Aku berjalan cepat menuju mobil di samping trotoar sana. Aku tinggalkan dia sendiri dengan pikirannya yang kuno.
“Tunggu, Cha! Aku bisa jelaskan maksudnya!” dia menarik lenganku, menahanku untuk tidak pergi.
“Apa? Sudah jelas! Sekarang aku hanya bisa mengerti, kamu nggak mau menikah denganku karena kamu tak pernah mencintaiku! Let me go now! “
“Cha! Tunggu!” aku berlari.
Mengabaikannya jauh lebih baik. Aku masih punya segudang masalah tanpa dia. Kupikir, dia mau mengerti, kenyataannya dia sama saja seperti yang lain. Membebaniku. Penolakkan ini paling menyakitkan daripada penolakkan ratusan tulisanku terdahulu. Sedih ini lebih menyayat daripada teror mereka yang ingin membunuh karena pendapatku dalam tulisan.
Rizky berdiri di sisi mobil lain, di atas trotoar. Kubuka pintu mobil menghiraukannya yang berkicau meminta maaf. Tubuhku terasa terpaku melemah saat mendengar getaran mobil dari arah lain dengan kecepatan tinggi dan menyerangku tepat ketika membuka pintu mobil.
“CHACHA!!!”
Tubuhku melayang tinggi menjauh dari sisi mobil hanya dalam hitungan detik. Dalam waktu singkat di udara, aku hanya melihat langit berbaur dengan darah yang melintas pelupuk mata. Sekejap saja, kusaksikan lukisan biru megah langit dengan binaran merah darah terhiasi awan. Megah.
Bruk! Yang terakhir kurasa, semua tulangku bunyi seolah gelas yang dipecahkan. Tak sampai disitu, tangan kananku yang tak berdaya terbuka di jalanan, dan kembali mobil itu melindasnya. Tubuhku seakan mati rasa. Semuanya terjadi sangat singkat, hanya dalam hitungan detik.
“Cha, bangun!” lengannya mengangkat leherku. Kubuka mata sekuat kumampu. Hampir segaris saja yang terbuka, dan kulihat dia menangis diantara rinai darahku. Berikutnya, aku lupa segalanya. Aku bermain mencari harapan baru di tempat yang belum pernah kukunjungi.
“CHACHAAAAAA!!” Suara terakhir yang kudengar.
#*#
Amanda menghela napas panjang. “Aku lihat bagaimana kakak berusaha keras menulis dengan mulutnya. Kawan, aku menangis setiap kali mengingatnya. Kakak belum pernah mengeluh, bahkan ketika mulutnya lecet atau orang tidak mengerti karena tulisannya tidak bagus. Selang satu tahun dari perjuangannya, Kak Anton, kakak keduaku yang masuk sekolah teknik, merancang sebuah program dan keyboard laptop lunak yang tidak ku mengerti bagaimana itu. Dikhususkan untuk kakak. Yang aku tahu, keyboard itu memudahkan kakak untuk menulis.
Hal hebat lainnya, dalam keterbatasan keadaannya sekarang, dia masih bisa mengambil keputusan berat untuk hidupnya. Keluarga hanya bisa mengikhlaskan untuk apa yang kakak harapkan. Kakak bilang, selama terlelap tak sadar, selalu ada cahaya mengkilap yang ingin dia sentuh. Tapi tak pernah bisa. Kakak bilang, cahaya itu seperti lafadz yang dipasang di dinding mesjid. Kakak juga selalu terenyuh setiap mengingat kisah muslim yang sabar menghadapi kekuasaan-Nya. Karena itu, seperti yang pernah kakak janjikan pada seseorang, dia menemukan caranya untuk berubah. Kakak putuskan untuk menjadi seorang muslim yang belajar untuk semakin taat kepada Sang Pencipta.”
#*#
Batasan yang tak pernah terhitung ketika cahaya yang redup bisa sedikit bersinar. Harapan itu akan selalu datang membahagiakan siapa yang mau, namun tergantung bagaimana disikapinya, membiarkannya menjadi mimpi tidur atau menggerakkan rodanya perlahan. Ketika pun aku tidak bisa menemui wajah yang ku rindukan ini, aku menuliskannya dan mendo’akannya. Karena ustadzku bercerita, ketika kau menuliskan harapanmu, maka malaikat akan mengamininya. Jadi, serahkanlah pada Sang Pencipta dan berusahalah.
Aku sudah sangat bahagia menemukan maksud keyakinan yang dia perbincangkan sepuluh tahun lalu. Aku menemukannya dengan caraku, dari mimpiku, menjadi harapanku, dan aku mengusahakan untuk memahaminya. Amanda, adikku, memahami keputusanku untuk menjadi muslimah, dengan caranya sendiri yang tak pernah bisa membendung rasa ingin tahu, dia menemukan juga makna lain dari perubahan yang kulakukan. Bukan masalah benar atau salah, ini lebih karena penemuan baru dalam perjalanan hidupku dan Amanda.
Aku lebih dari rindu dengan kehangatanmu.
Aku menunjuk laptop di meja samping ranjang. Dia membawanya dan membukanya untukku. Aku sentuh tombol dokumen. Menggerakkan kursor menuju setiap file yang kumaksud. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum. Dia mengerti. Aku yakin, dia membaca setiap file yang kutunjukkan tadi. Itulah perasaanku selama ini.
Air mukanya haru tapi senyuman tak pernah terlewat. Bahagia tiada tara.
Aku menunggumu. Setiap kali aku menulis, aku tak pernah lupa untuk bercerita bagaimana Alloh SWT menuntunku untuk menyadari kekuasaan-Nya dengan mempertemukan kita. Aku selalu menunggumu. Menunggu menjadi yang halal bagimu. Seperti maksudmu di tepi jalan itu. Mungkinkah janji itu terpenuhi?
“Cha, aku datang, untuk memenuhi janjiku, untuk menjaga dan merawatmu. Maukah kau menikah denganku?”
Matahari sudah nyaris kembali ke peraduannya. Langit menyorotkan rona oranye lembayung dan membahana megah di kamarku. Hatiku yang kalut, sepi dan sendiri menjadi berwarna. Air mata menghujani bumi karena aku bahagia. Seisi bumi seakan bertakbir, menggemakan apa yang ku nanti datang tanpa paksaan. Aku terkejut.
#*#
“Kakak cantik menawan! Jilbabnya bagus, aku iri!” bibir Amanda manyun, so cute my sister. Aku mengenakan jilbab untuk pertama kalinya. Tak ada hal lain yang lebih indah dari melihat sekelilingku merasakan kebahagiaan yang aku rasa. Dunia terasa amat damai. Ayah, Ibu, Anton, dan Amanda, membantuku keluar dari ruangan tempatku singgah untuk waktu yang panjang. Meninggalakannya sangat berat, karena bertahun-tahun ini aku habiskan waktu untuk berkarya, menangis, tertawa, kesakitan, bahkan dilamar di sini. Sekarang, selamat tinggal.
Sedikit gelisah menyertai dan tangan gemetaran berkeringat ketika memasuki lantai mesjid. Inginku adalah, merasakan sejukknya lantai ini, apalah daya tubuhku mati rasa. Penghulu dan tamu undangan berkumpul di tengah sana. Beberapa wartawan sigap mengambil gambar saat aku datang. Bantulah aku mengabadikan kejadian ini kawan. Rizky tersenyum menyambutku. Senyum yang menyilaukan pandangan hingga perlahan tatapanku kabur. Semua mata tertuju pada kami. Mataku berputar sekeliling melihat aura kebahagiaan di sekitar. Amanda berbisik, “Sesaat lagi, kakak akan menjadi yang halal bagi Kak Rizky. Tersenyumlah! I love you, Kak!” dan selanjutnya dia menghilang dari sampingku. Meja, Rizky, penghulu, saksi, dan ayah yang menjadi wali duduk di bawah mengitari meja, sementara aku tetap di kursi roda tercinta. Senyuman ayah seolah berbisik, apapun itu pilihanmu, walau berbeda dengan ayah dan ibu, kau membanggakan kami!
“Saya terima nikahnya Annissa Wildani binti Joseph Sakurta Christian, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, Al Qur’an khusus wanita, dan sepuluh gram mas murni, dibayar tunai.”
Sepuluh gram wujud penantian kami. Terima kasih Rizky. Kau tahu? Aku gemetaran bukan main, tanganku berkeringat sedari tadi semakin menjadi. Pandanganku kabur karena mungkin mataku penuh air berkaca.
“Bagaimana sah?”
“Sah!” “Sah!”
Terakhir ayah, perlahan diam dan, “Sah!”
“Alhamdulillahirobil’alamin.”
Air mataku menetes lebih dari bahagia. Ya Alloh, aku sudah menjadi yang halal bagi Rizky. Dia menatapku, tersenyum dan menggenggam jemariku, memasangkan cincin nikah di jari tengahku. Tanganku gemetaran walau tak merasa apapun. “Aku mencintaimu, istriku.”
Dibawah sadar, kakiku jatuh dari pedal kursi roda, menyentuh lantai mesjid. Apa ini? Aku merasakan sejukknya lantai mesjid. Dingin menusuk namun menambah kebahagiaanku. Jemariku seperti demikian, kini terasa hangat disentuh suamiku. Aku tak lagi mati rasa.
Kami beradu pandang dan saling tersenyum. Tapi pandanganku semakin kabur. Semakin tak bisa melihat jelas sekelilingku, perlahan menggelap.
Dia mencium lembut keningku. “Tanganmu berkeringat.” Aku mengedip, membukanya sekejap, lalu tersenyum, menutupnya lagi. Setelah ini, aku tak kuasa lagi membukanya. Tubuhku semakin lemah. Aku hanya bisa merasakan sejuknya lantai mesjid. Tidak, tidak, sekarang dinginnya makin menghilang. Aku tak lagi merasakan apapun, apa sekarang sudah malam? Ya Alloh.
“Cha?”
“Kak Chacha? Kak? Bangun, Kak! Bangun!”
#*#
“Kakak yakin, bahwa setiap manusia diciptakan karena mempunyai peran masing-masing untuk mengubah dunia. Itulah harapan kakak, ikut mengubah dunia. Bagi kakak yang sekarang terbatas, perannya adalah, menceritakan makna kehidupan bukan lagi hidup.
Dialah kakakku, yang sanggup berjuang dan berkelana jauh bahkan sampai ke dunia yang tidak pernah kita pernah lihat, karena kemauan dan harapannya yang tinggi. Aku mau seperti kakak, yang tak pernah gentar untuk berjuang dan mewujudkan harapan. Aku sekarang berjanji, akan belajar semaksimal kemampuanku untuk kemudian menjadi dokter, supaya aku bisa menyembuhkan kakak. Karena itu, teman-teman, ayo kita wujudkan harapan kita dan berkelana ke dunia yang tidak pernah kita tahu. Terim kasih.”
“Tepuk tangan untuk Amanda!” seru Bu Guru setelah Amanda selesai mebacakan karangan cita-citanya di depan kelas. Kelas pun menajadi riuh dengan tepukkan tangan semua murid. Air mata sedikit menetes di pelupuk mata Bu Guru. Ia tahu jelas bagaimana cerita itu.
“Terima kasih,” ujar Amanda sambil membungkukkan badannya lalu menghapus air mata yang dari tadi ia tahan.
#*#
Inikah perasaan wanita yang seutuhnya? Cintaku terbalas dengan suatu hal yang halal. Jika dapat, akan ku tulis dan ceritakan pada dunia, penantian terakhirku datang untuk melengkapi segala kurang dan harapanku yang tertunda lama. Terima kasih Ya Alloh, untuk dunia dan cerita yang bisa ku goreskan diantaranya.
Senin, 14 Februari 2011
HAMMIA (Gadis dan Gelap)
Perlahan, kaki kanan Hamia yang mungil, berpindah selangkah lebih maju. Kedua tangannya tak henti mengawali derap langkah kaki itu. Sejenak terhenti membenahi kerudungnya yang melorot nyaris menutupi mata. Kembali tangan-tangan Hamia lincah menggerakkan jangka, walau terasa sedikit perih pada kedua bagian ketiak akibat dari gesekan antara kayu pelapis jangka dengan kulit pada bagian tersebut. Perlahan namun pasti.
Beberapa pasang mata menatap lekat Hamia yang berjalan terus dengan terbata-bata. Padahal pemandangan ini bukan yang pertama. Sedangkan teman-teman sebaya Hamia, berlalu-lalang dengan sepeda atau belari riuh silih berkejar menuju mushola. Tak sedikit diantara mereka yang berbisik merasa iba dan tak sedikit pula diantaranya yang menghujat atau mencemooh keadaan Hamia.
Senyum sumringah tersimpul ringan di raut wajah Hamia. Di sana juga, masih menyisakan bekas luka memar dan tergores, seperti cakaran kucing. Kaki Hamia berhasil kembali menginjak teras mushola yang dingin mneyejukkan. Diletakkan kedua jangka di tempat biasa, pojok kanan belakang ruangan dan merangkak sekuat tenaga hingga masuk barisan jama’ah yang sudah menggunakan kain mukena. Dan adzan maghrib pun berkumandang.
↗↗↗
“Bu, sebagian disimpan buat biaya Hamia periksa ke dokter.” Dihempaskannya uang dalam genggaman ibu ke atas bangku.
“Saya pusing, pak! Capek sekali! Gak ada gunanya! Tiap hari banting tulang, bantu bapak bikin adonan, terus nyuci, nyetrika baju tetangga kalau ujung-ujungnya tuh uang cuma dipake buat anak itu periksa! Bukannya dia sudah sehat? Toh sudah bisa jalan sendiri kan?” nadanya meninggi.
“Tapi mana kita tahu keadaan Mia yang sebenarnya. Bagaimana kalau ada masalah dengan organ dalamnya? Itu kan nantinya lebih repot lagi, bu.”
“Iya, saya tahu. Tapi harus tau keadaan dong, pak! Buat sekarang yang penting kan Mia sudah bisa jalan sendiri! Inget, pak! Banyak kebutuhan rumah yang harus dibeli kontan pake uang! Gak bisa ngutang terus.”
“Iya, nanti Bapak kerja lebih giat lagi, bu!” seraya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.
“Bapak ini bisanya cuma omong saja. Yang realistis dong, pak! Hidup kita ini susah!” menghela napas sejenak, nadanya sedikit menyindir. “Dulu, saya pikir bapak bisa bikin saya bahagia, lahir batin. Bisa bikin saya hidup lebih baik,” sambil merapikan lembaran uang yang berantakan di atas bangku. “Eh, tidak tahunya. Setelah nikah, anaknya malah celaka, kios baksonya di pasar ditutup buat biaya anaknya. Dan sekarang, sudah anaknya sembuh, masih juga harus menyisihkan uang yang pas-pasan buat biaya dokter anaknya.”
“Itu musibah. Siapa yang mau coba?”
“Iya musibah! Musibah anak bapak, tapi saya yang kena abunya!”
“Jadi mau kamu apa?!” suara bapak lantang menampar di hadapan ibu.
“Mau saya? Baik, saya mau cerai saja! Cerai saja!” suaranya tak kalah lantang. “Saya capek hidup seperti ini terus. Selalu saja anak bapak yang dipikirkan. Saya? Mana pernah!” lanjutnya.
“Terserah!”
“Baik! Besok pagi-pagi saya pulang. Silahkan selesaikan sendiri!” menetes air mata di pelupuk mata ibu dan, praaangngng. Panci besi ibu jatuhkan ke lantai, kemudian ia lari masuk kamar, menutup keras pintunya hingga semua kaca bergetar.
Bapak menunduk menghadap tembok, mengepalkan telapak tangan kanannya keras penuh tenaga dan lengannya secara sadar mendorongnya pada tembok hingga menyisakan getaran kemarahan.
Tanpa disadari, sepasang telinga masih bekerja menangkap gelombang bunyi yang berderai uraian kata di balik dinding kamar. Sudah sedari tadi Hamia menahan tangis tanpa suara, memahami yang terjadi terhadap bapak dan ibu tirinya. Menyesali keadaan yang harus merugikan orang lain, termasuk ibu tirinya yang selama ini selalu bertindak lembut pada Hamia.
Hamia bangun dan duduk bersandar pada dinding kamar. Memandang bagian bawah tubuh. Berapa kali pun Hamia melihatnya, tetap hanya akan mendapati kaki kiri yang hilang hingga bagian lutut. Bagaimanapun khayalannya, bagian itu kini sudah bukan lagi miliknya.
Hamia teringat rasa sakitnya. Ketika tiang di depan ruang kelasnya, sekolah dasar negeri, retak hingga runtuh dan menimpa tubuh Hamia yang sedang berlari bersama teman-temannya keluar dari kelas untuk menghindari puing-puing atap bangunan yang akan ambruk.
Kaki kiri Hamia tertimbun potongan besar tiang bangunan. Rasa sakit itu hanya sekejap, karena selanjutnya Hamia tak merasakan rangsangan seperti apapun pada kaki kirinya. Tambahannya, luka besar yang membuat tulang kakinya potong dan langkah terakhir, kaki kiri gadis tujuh tahun ini harus diamputasi. Memar dan bekas luka atas timpaan runtuhan puing bangunan tersebut masih membekas di beberapa bagian tubuhnya, termasuk pada wajah mungil Hamia.
Ironis, seorang Hamia harus pincang karena bangunan sebuah sekolah negeri. Hanya ada biaya pengobatan dari pemerintah. Itupun hanya untuk biaya rumah sakit sebagian dan membeli jangka, sedangkan untuk biaya check up atau obat yang diperlukan, tetap harus merogoh saku bapak. Hingga terpaksa, bapak harus menjual kios baksonya di pasar. Dan ibu tiri yang Hamia sayang, menyerah pada keadaan.
↗↗↗
Adzan subuh bergema luas menambah keindahan kekuasaan-Nya.
“Hamia sayang. Bangun, nak. Kita sholat subuh berjamaah.” Suara lembut bapak membangunkan Hamia yang semalam terlelap dengan air mata.
“Ayo bangun! Ambil wudhu, kita sholat di sini saja.” Hamia mengangguk pelan dan bangkit dari tempat tidurnya dibantu bapak mengambil jangka.
Walau sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang, tapi bukan berarti Hamia dapat dengan mudah menerima keadaannya. Hamia kerap menangis. Bukan untuk kekurangan fisik yang kini Hamia dapatkan, melainkan perasan bersalah terhadap orang-orang yang menyayangi Hamia, terutama bapak dan ibu. Hamia merasa hanya hidup menjadi benalu tanpa impian bagi mereka. Menyusahkan, menambah masalah, membuat mereka malu hingga puncaknya harus memisahkan bapak dengan ibu.
Air wudhu yang membasahi telapak tangan dan wajah sangat menentramakan hati Hamia yang galau. Hamia merindukan kebersamaan ini. “Ibu kemana, pak?”
“Ibu sudah pergi.” Hamia tahu, maksud pergi kali ini adalah untuk tidak kembali. Hamia dengan jelas melihat raut kesedihan diantara kerutan yang makin bertambah di wajah bapak. “Ayo kita mulai sholatnya, Hamia qomat dulu ya!” Hamia duduk dan memulai iqomat.
“Assalamu’alaikum warahmatulloh,” menghadap kanan.
“Assalamu’alaikum warahmatulloh,” menghadap kiri.
Lafadz istighfar seusai sholat, mengalun sejuk dari mulut bapak. Hamia mengamini do’a yang bapak panjatkan. Setelah membaca surat Al-Fatihah, Hamia melanjutkan do’anya dalam hati.
Ya Alloh, terimakasih atas kenikmatan yang masih Engkau limpahkan buat Hamia. Sayangilah bapak. Hanya memohon kebahagian yang indah dari-Mu hadiah terbaik dari Hamia buat bapak yang hebat. Kabulkan ya Alloh. Amin.
Bapak menoleh ke belakang dan tersenyum memandang putrinya. Walau senyum di wajah Hamia sedikit memudar, tapi aura cahaya yang dipancarkan Hamia tidak berubah. Seperti cahaya anak yang soleh. Jadikanlah ia anak yang tegar Ya Alloh. Batin bapak.
“Hamia minta apa?” bapak mendekati Hamia dan duduk didepannya.
“Ada aja!” wajah Hamia tetap menggemaskan walau goresan luka jelas membekas di pelipisnya.
“Loh? Kok gitu? Berdo’a buat bapak gak?”
Hamia mengangguk kecil dan tersenyum bahagia. Sangat lepas. “Tentu saja. Itu yang paling utama. Buat bapak!” Direngkuhnya Hamia dalam pelukan dan bapak mencium penuh cinta pada kening Hamia. “Hamia sayang bapak, sangat sayang bapak,” bisik Hamia sepenuh hati hingga air matanya jatuh.
“Apalagi bapak. Bapak sangat, sangat, sangat sayang Hamia. Jadilah anak yang solehah sayang,” ungkap bapak dalam tangisan kasih sayang. Sungguh indah.
↗↗↗
“Man! Buat nanti sore semua beres! Masa sudah sanggup! Kita bakal buat penyerangan ini kaya demonstrasi mahasiswa dari BEM kampus kita. Jadi posisi kita aman. Lokasi penyerangan sekitar Monas.”
“Bagus! Gue pengen, Si Bajingan itu mampus! Salah sendiri, berani ngerbut cewek seorang Herman Wijaya! Hahahah…”
↗↗↗
“Jadi Hamia mau ikut bapak?” Hamia mengangguk. “Nanti pulangnya malam lho. Hamia gak bisa sekolah agama dong?”
“Hari ini libur kok, pak! Ada pengajian ibu-ibu. Ya, boleh,pak? Hamia nanti gak akan minta apa-apa deh. Cuma mau liat bapak kerja aja sambil jalan-jalan, dari pada di rumah sendiri,” minta Hamia.
“Baiklah! Untuk putrid tercinta, hari ini bapak gak akan keliling jauh-jauh.”
“Hore!! Hamia ikut jalan-jalan sama bapak!”
↗↗↗
“Dua dibungkus, bang! Yang satu baksonya aja. Yang pedes, ya!” bapak mengangguk mengerti.“Ini anaknya abang?” bapak tersenyum.“Maaf, kakinya kenapa?”
“Kecelakaan, mbak! Tertimpa tiang sekolahnya yang roboh.” Mulut pembeli itu membentuk huruf “O” dan menampakkan rasa iba pada Hamia. “Ini baksonya, mbak!”
Pembeli itu berlalu. Hamia menunduk sedih. “Bapak maaf.”
“Maaf untuk apa sayang?”
“Pasti bapak malu karena Mia.” Bapak hanya tersenyum dan berlutut kemudian memegang kedua bahu Hamia. “Sayang dengarkan bapak. Jangan pernah merasa malu dengan keadaan kamu sekarang. Jangan takut karena orang lain melihatmu.”
“Tapi, banyak orang-orang yang sepertinya gak suka sama Mia. Cuma bapak yang mau jaga Mia. Mia takut kalau gak ada bapak.”
“Sssstt. Kamu harus yakin kepada Alloh. Jangan pernah merasa takut sendirian karena Alloh senantiasa menemani kita dan melihat kita, kapanpun dan dimanapun. Yakini itu.” Hamia tersenyum dan memeluk bapak.
“Sekarang kita kemana, pak? Gimana kalau ke Monas?”
“Baiklah, ayo kita ke sana!”
↗↗↗
“Kita berhenti di sini saja, nak!” Hamia mengangguk.
“Pak, Mia mau kesana,” tunjuk Hamia ke ujung Monas. Bapak hanya tersenyum geli. “Nanti bagaimana jualan bapak?”
“Oh, iya. Mia lupa. Lain waktu aja ya, pak?” lagi-lagi bapak mengangguk geli melihat garis senyum bahagia yang lepas dari pada wajah bulat Hamia. Rasanya tenang kalau sudah melihat Hamia seperti ini.
↗↗↗
“TURUNKAN HARGA BAHAN PANGAN!!!”
“PEMBODOHAN!! BBM TURUN BAHAN PANGAN NAIK ONGKOS JUGA NAIK!!”
“SETUJU!!!”
↗↗↗
Sore mulai menjelang. Bapak dan Hamia masih menikmati panorama langit sore Ibu Kota. Menakjubkan, Hamia kembali bisa menghabiskan waktu berdua denagn bapak. Walau hanya menemani berjualan, Hamia merasa menemukan kepingan hati yang hilang, lebih berharga dari pada kaki kiri yang tak lagi dimiliki.
↗↗↗
“HIDUP RAKYAT!! SEJAHTERKAN RAKYAT!! TURUNKAN HARGA BARANG PANGAN!”
↗↗↗
“Nak, tunggu di sini. Jangan beranjak dari sini. Bapak mau bawa mangkuk di seberang sana. Tetap di sini. Janji pada bapak?”
“Karena Mia anak yang baik, Mia janji!” Mereka saling beradu jari keliking dan saling tersenyum. “Bapak sayang kamu, nak!” bapak mencium lekat kening Hamia. “Hamia juga.”
Bapak melepaskan tangannya dari kepala Hamia dan menyebrang. Hamia memandangi punggung kuat ayahnya. Melihat jemari tangan yang kulitnya kasar dan semakin dipenuhi kerutan-kerutan. Hamia cinta bapak. Batin Hamia.
↗↗↗
Dari dua arah yang berlawanan, dua rombongan mahasiswa menyerbu dengan poster dan spanduk-spanduk tuntutan. Entah, apakah itu tuntutan atas nama rakyat atau hanya tuntutan pribadi, atau mungkin ada maksud lain. Entahlah. Kenyataannya, bagi mereka ini tindakan yang benar.
“TURUNKAN HARGA BAHAN PANGAN”
Diantara kerumunan mahasiswa, “Itu dia Man orangnya!”
“Ok! Kerahkan masa sekarang! Serang! Habisi orang itu! Biar mampus dia!”
“Woi.. SERANG!!!!”
↗↗↗
“Wah! Ada yang demo kayaknya, ya bang! Rame sekali!”
“Iya, sekarang kayaknya lagi musim tuh protes sama pemerintah. Lain waktu ditunggu beli lagi iya!” Bapak tersenyum pada pelanggan tersebut seraya merapikan mangkuk bakso dan membawanya kembali menuju gerobak bakso di seberang jalan.
Bapak berjalan berhati-hati menuju gerobak baksonya kembali. Di seberang sana terlihat Hamia duduk menunggu. Terlihat oleh bapak, dalam satu jalan dua gerombolan orang dari arah berlawanan datang membawa spanduk-spanduk kekecewaan terhadap kinerja pemerintah.
↗↗↗
“BAPAK!!”
↗↗↗
“TURUNKAN HARGA PANGAN!!”
Semua suara menyuarakan kekecewaan. Hanya satu suara yang terdengar berbeda makna. Dari satu arah, gerombolan itu maju menuju gerombolan lainnya dan menyuarakan, “SERANG!!!!!!”
Sinar matahari sore mulai meredup. Ia mulai kembali ke peraduannya. Di bawah biasnya, baku hantam pun terjadi. Bapak terkurung diantara gerombolan itu. Mangkuk yang dipegangnya jatuh berantakan. Mencoba melarikan diri dari kerusuhan ini, namun sulit. Masa yang ada terlalu banyak.
“ITU ORANGNYA, MAN!! TEMBAK DIA!!!”
DORRRR!!! Suara peluru melepas bebas bergema dan berkejaran dengan suara adzan maghrib yang mulai menggema alam raya. Bapak tersentak. Tangannya memegang bagian dadanya.
“Man, kita salah orang!! Itu bukan SI BANGSAT!!”
“BEGO LO!! LO BILANG ITU DIA!! KABUR!! PUKULI DULU ORANG ITU!!”
“Ha… mm.. Hami..aaa…”
↗↗↗
“Ramai sekali. Bapak dimana ya, Hamia takut.” Hamia memandang lekat gerombolan orang itu. Ingin Hamia pergi ke sana tapi apa daya, Hamia takut. Hamia juga sudah berjanji pada bapak.
Suara sirine mobil polisi meramaikan keadaan. Gerombolan itu perlahan mulai melarikan diri. Menghambur, menjauhkan diri dari jalanan itu.
“Bapak dimana?” Hamia mulai gelisah. Tak bisa Hamia melihat bapak. Hamia berdiri, mulai mencari-cari bapak. Sebagian dari gerombolan itu bersembunyi di balik gerobak bakso bapak. Hamia benar-benar takut. Hamia terus mencari bapak. Terpaksa hamia mencari bapak ke tengah puing-puing kerusuhan itu. Lelah, takut, resah dan khawatir. Hamia mencari bapak walau Hamia harus berjalan kesakitan. Di tengah, Hamia melaihat tubuh kekar pelindungnya terkapar berlumur darah.
Dengan terpogoh, Hamia mencoba berlari kecil meraih telapak tangan bapak yang mulai membeku. Tubuh Hamia tersungkur jatuh dan memandang lekat wajah tegar yang kerap memacu Hamia untuk berdiri sepenuhnya. Jangka yang membatasi langkah Hamia diletakkan perlahan di samping bagian kaki yang hilang. Tangan Hamia bergetar keras. Tangan bapak dingin dan dadanya berlumur darah. Dibersihkan semampu Hamia. Dibelai lembut wajah bapak yang penuh memar. Hanya mata terpejam yang Hamia dapati.
"Bapak…," rintihnya. "Jika bapak tak lagi membuka mata, lalu siapa yg mau melihat Mia?" Tak ada air mata, tapi dunia menangis karena ketegaran Hamia. Suasana beralih sunyi. Ada apa ini? Batin Hamia.
Kerusakan atas huru-hara terlihat jelas. Tapi tak nampak gunungan jasad mereka yang terlibat. Hanya di satu titik, darah mengalir dan tak ada yang peduli.
Polisi mulai mengamankan pasukan perusuh itu dan dikhawatirkan akan ada serangan lanjutan. Beberapa yang terlibat berhasil ditangkap. Seorang polisi dengan penuh peluh, menyusuri puing-puing kerusakan dan berlari menyelamatkan Hamia.
"Ayo, nak! Ikut saya! Nyawamu terancam di tempat ini!"
"Mereka membunuh bapak! Apa salahnya?"
"Saya tidak bisa menjelaskannya. Kamu tidak akan mengerti, nak! Sekarang ikutlah dengan saya. Seumur hidup saya akan merasa bersalah jika tidak membawamu dari tempat ini."
"Apa salah jika bapak berjualan bakso di sini? Lihatlah! Matanya tak lagi melihat Hamia. Mau pergi kemana Mia tanpa bapak?"
“Ikut saya saja, biar untuk sementara bapakmu di sini! Nanti kita kembali."
"Tidak!! Bapak harus bangun!" Hamia digendong paksa. Menjauh dari keramaian yg ada dan meninggalkan bapak yang membeku .
"BAPAK!!"
Minggu, 13 Februari 2011
His Words
Sabtu, 12 Februari 2011
HArapan Kemabali Dalam Kebersamaan
Asa merupakan harapan. Harapan yang kerap kali manusia jadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalani kehidupan yang labil. Karena pada harapan itulah manusia menggantungkan tujuan hidup dan pertahanan dalam perjalanan hidupnya. Walau mereka tahu, bahwa harapan bukanlah suatu hal yang pasti. Singkatnya, harapan adalah keinginan yang mungkin terjadi.
Setiap individu pasti memiliki harapan. Harapan yang terbaik, terutama untuk dirinya sendiri, selanjutnya yang terbaik untuk orang lain. Tetap saja, walau seseorang memiliki harapan ingin yang terbaik untuk orang lain, karena sifat egoisme yang ada pada diri setiap insan, harapan itu juga harus selalu berimbas baik bagi dirinya sendiri.
Dewasa kini, kenyataan menunjukan tak sedikit manusia yang terbunuh jiwanya karena harapan kosong menggebu-gebu dalam hati dan pikirannya. Harapan kosong itu terlalu jauh dan tinggi untuk dapat disentuh dengan kemampuan yang dimiliki. Akhirnya, dia tak ingin bangkit lagi dari kekalahan untuk meraih harapan tersebut
Masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke tentunya memiliki harapan. Harapan membangun Tanah Air yang lebih maju dan lebih baik. Karena dengan kemajuan Tanah Air yang lebih baik, akan berimbas pada kesejahteraan bagi masing-masing individu yang menetap di di Indonesia.
Harapan itu hakikatnya bukan harapan semu yang hanya membayangi langkah kehidupan atau yang dijanjikan seseorang. Melainkan perwujudan perubahan yang mampu mengubah taraf hidup masyarakat Indonesia lebih, lebih dan lebih baik dari masa lalu dan saat ini. Perubahan ini bukan hanya dalam satu bidang, melainkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Harapan luasnya lapangan pekerjaan yang berkualitas, harapan kebutuhan ekonomi minimal terpenuhi, harapan kemudahan menikmati pendidikan bermutu, harapan hidup dalam lingkungan sosial-budaya yang layak, harapan menetap di lingkungan hidup yang bersih dan terawat, harapan sarana dan prasarana umum yang memadai, harapan kecukupan teknologi, harapan dunia politik dan pemerintahan yang adil dan damai, harapan mendapat kepuasan berwisata, harapan kehidupan bermayarakat yang damai, harapan adanya perlindungan keamanan, harapan perlindungan hak asasi manusia, harapan penegakkan hukum yang tidak memihak, serta harapan-harapan lainnya.
Jika kita telaah bersama, harapan masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan rantai yang saling berikatan satu sama lain. Satu saja aspek yang tidak terpenuhi, aspek lain akan berjalan pincang.
Contohnya, seseorang yang tidak bekerja karena terbatasnya lapangan pekerjaan, akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama kebutuhan pangan yang meroket naik harganya, karena tidak memiliki penghasilan. Ia juga akan kesulitan untuk memberikan pendidikan formal yang layak bagi anak-anaknya karena alasan biaya. Walaupun pemerintah sudah menyelenggarakan program Biaya Operasional Sekolah atau si BOS, tetap saja pemerintah belum mampu melengkapi kebutuhan belajar siswa sehari-hari seperti alat tulis, seragam sekolah ongkos, dan sebagainya.
Tak jarang juga kesulitan yang mendera seperti ini membuat lakonnya putus harapan dan nekat melakukan tindakan panjang tangan. Dan adanya aktor panjat tangan ini membuat kehidupan bermasyarakat tidak lagi aman, damai dan tentram.
Harapan-harapan itu, seperti disebutkan sebelumnya, memang sudah menjadi keinginan klise bagi masyarakat. Faktanya, keinginan klise seperti inilah yang paling sulit untuk dicapai dan diwujudkan.
Lalu siapa yang bisa mewujudkan harapan-harapan tersebut ?
Mutlak tetap, hanya satu kekuatan yang mampu mewujudkan harpan-harapan tersebut, yaitu kekuatan Sang Pencipta. Dalam sekejap mata Dia mampu mewujudkan perubahan yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Tapi Sang Pencipta, tidak akan serta-merta begitu saja melakukan hal tersebut. Dia akan melihat sejauh mana ikhtiar yang dilakukan oleh kita. Jika hanya bediam diri dan saling mengandalkan, jangan harap perubahan yang didambakan bisa terwujud.
Satu hal yang harus ditancapkan sekuat mungkin dalam hati dan pikiran, kita semua harus berusaha untuk mewujudkan harapan dan perubahan yang lebih baik bagi Tanah Air. Bukan sekedar janji-janji pemimpin dan pemerintah atau masyarakat yang hanya mengandalakan dan mengkrtisi pemerintah. Tapi kita bersama, seluruh masyarakat dan pemerintah. Gotong-royong membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih maju.
Jika hanya pemerintah yang diandalkan, harapan-harapan tersebut seketika hanya akan menjadi harapan kosong. Ibarat seseorang yang menyongsong cita-citanya dengan separuh badan. Ia akan lebih banyak menjumpai halangan dan rintangan. Bukankah itu sulit ?
Oleh karena itu, persatuan, kesatuan dan kebersamaan adalah faktor utama dan terpenting dalam mewujudkan harapan ini. Banyak uang tanpa kebersamaan, tentunya hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial karena pembagian yang tidak merata. Namun dengan kebersamaan, uang sedikit dapat dimanfaatkan secara adil karena sifat kebersamaan yang bisa saling merasakan kesulitan sesamanya.
Melihat keadaan sekarang, dimana harga bahan pangan yang melonjak naik ditengah sempitnya lapangan pekerjaan, pendidikan yang belum disentuh oleh seluruh lapisan masyarakat serta kehidupan politik yang penuh kicruh, nilai kebersamaan atau persatuan dan kesatuan antar masyarakat dan jajaran pemerintahan mulai menyusut bak balon udara yang kehabisan bahan bakar ditengah perjalanannya.
Sebenarnya, sifat kebersamaan dan gotong royong, persatuan serta kesatuan sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia sejak dulu. Salah satunya ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan. Dengan senjata seadanya namun semangat persatuan dan kesatuan yang menggebu, mereka mampu meraih kemrdekaan bagi bangsa Indonesia. Yang mereka perjuangkan bukan hanya harta, melainkan juga harta. Namun demi kemerdekaan, yang bisa dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia, mereka rela mengorbankannya.
Namun seiring perkembangan zaman, berbagai perubahan yang terjadi serta masuknya pengaruh budaya asing di Tanah Air dewasa kini, justru menyisakan kesan seolah masyarakat dan jajaran pemerintahannya meninggalkan budaya yang tercermin dalam semboyan tersebut.
Bisa kita lihat dan rasakan, semakin berumur, Ibu Pertiwi justru mengalami krisis gotong-royong. Sebagian besar pelaku pemerintahan lebih memprioritaskan kepentingan pribadinya daripada kepentingan bersama. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya beberapa kasus korupsi dalam pemerintahan. Salah satu akibat atas tindakan korupsi itu ialah perlahan membentuk masyarakat yang indivisualis dimana mereka tak lagi memberikan perhatian atau peduli dengan apa yang dialami orang lain. Yang terpenting adalah kebutuhan pribadinya telah terpenuhi.
Seandainya sikap kebersamaan dan jiwa gotong-royong antar semua elemen kehidupan bermasyarakat ini masih berlangsung stabil dalam kehidupan penuh persaingan dewasa kini, niscaya tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial berlebih, baik itu intern antar pelaku pemerintahan, intern antar masyarakat maupun antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan semangat gotong-royong pula pemerintah dipastikan mampu meminimalisir permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan semangat kebersaman, pelaku pemerintahan akan takut melakukan tindakan hina, seperti korupsi, karena mereka mempunyai kesadaran sebagai pemimpin yang mengemban kepercayaan rakyatnya. Mereka akan malu, jika makan kenyang dan tidur nyenyak dalam balutan selimut hangat sementara banyak rakyatnya menikmati makanan sisa dan tidur hanya ditutup sehelai pakaian tanpa balutan kain lainnya.
Dengan semangat kebersamaan, masyarakat akan memanfaatkan dan mengoptimalkan sebaik mungkin fasilitas yang disediaan pemerintah. Mereka akan mengkritik dan mengingatkan kesalahan yang pemerintah lakukan melalui musyawarah bukan demonstrasi anarkis.
Untuk kembali membangun sifat kebersamaan serta persatuan dan kesatuan tersebut dibutuhkan pengorbanan dan pengabdian dari berbagai kalangan.
Contohnya, dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Baik secara langsung maupun tidak, sang anak akan mencontoh tindakan orangtuanya. Jika orangtuanya rajin bersedekah dan sikap seperti demikian sudah dibudayakan sejak dini, sang anak juga akan terbiasa bersedekah dan melakukan kebiasaan itu hingga dewasa.
Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintahan harus dibangun seperti keluarga. Pemerintah berperan sebagai orangtua dan rakyat sebagai anaknya. Pemerintah harus menjadi panutan bagi rakyatnya. Panutan yang bisa mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan, bertanggungjawab, bijaksana dalam mengambil keputusan, cepat dan tepat dalam mengambil suatu tindakan. Dimulai dari hal yang kecil, dari lingkup yang sempit dan dimulai dari sekarang.