Asa merupakan harapan. Harapan yang kerap kali manusia jadikan sebagai rambu-rambu dalam menjalani kehidupan yang labil. Karena pada harapan itulah manusia menggantungkan tujuan hidup dan pertahanan dalam perjalanan hidupnya. Walau mereka tahu, bahwa harapan bukanlah suatu hal yang pasti. Singkatnya, harapan adalah keinginan yang mungkin terjadi.
Setiap individu pasti memiliki harapan. Harapan yang terbaik, terutama untuk dirinya sendiri, selanjutnya yang terbaik untuk orang lain. Tetap saja, walau seseorang memiliki harapan ingin yang terbaik untuk orang lain, karena sifat egoisme yang ada pada diri setiap insan, harapan itu juga harus selalu berimbas baik bagi dirinya sendiri.
Dewasa kini, kenyataan menunjukan tak sedikit manusia yang terbunuh jiwanya karena harapan kosong menggebu-gebu dalam hati dan pikirannya. Harapan kosong itu terlalu jauh dan tinggi untuk dapat disentuh dengan kemampuan yang dimiliki. Akhirnya, dia tak ingin bangkit lagi dari kekalahan untuk meraih harapan tersebut
Masyarakat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke tentunya memiliki harapan. Harapan membangun Tanah Air yang lebih maju dan lebih baik. Karena dengan kemajuan Tanah Air yang lebih baik, akan berimbas pada kesejahteraan bagi masing-masing individu yang menetap di di Indonesia.
Harapan itu hakikatnya bukan harapan semu yang hanya membayangi langkah kehidupan atau yang dijanjikan seseorang. Melainkan perwujudan perubahan yang mampu mengubah taraf hidup masyarakat Indonesia lebih, lebih dan lebih baik dari masa lalu dan saat ini. Perubahan ini bukan hanya dalam satu bidang, melainkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Harapan luasnya lapangan pekerjaan yang berkualitas, harapan kebutuhan ekonomi minimal terpenuhi, harapan kemudahan menikmati pendidikan bermutu, harapan hidup dalam lingkungan sosial-budaya yang layak, harapan menetap di lingkungan hidup yang bersih dan terawat, harapan sarana dan prasarana umum yang memadai, harapan kecukupan teknologi, harapan dunia politik dan pemerintahan yang adil dan damai, harapan mendapat kepuasan berwisata, harapan kehidupan bermayarakat yang damai, harapan adanya perlindungan keamanan, harapan perlindungan hak asasi manusia, harapan penegakkan hukum yang tidak memihak, serta harapan-harapan lainnya.
Jika kita telaah bersama, harapan masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan rantai yang saling berikatan satu sama lain. Satu saja aspek yang tidak terpenuhi, aspek lain akan berjalan pincang.
Contohnya, seseorang yang tidak bekerja karena terbatasnya lapangan pekerjaan, akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama kebutuhan pangan yang meroket naik harganya, karena tidak memiliki penghasilan. Ia juga akan kesulitan untuk memberikan pendidikan formal yang layak bagi anak-anaknya karena alasan biaya. Walaupun pemerintah sudah menyelenggarakan program Biaya Operasional Sekolah atau si BOS, tetap saja pemerintah belum mampu melengkapi kebutuhan belajar siswa sehari-hari seperti alat tulis, seragam sekolah ongkos, dan sebagainya.
Tak jarang juga kesulitan yang mendera seperti ini membuat lakonnya putus harapan dan nekat melakukan tindakan panjang tangan. Dan adanya aktor panjat tangan ini membuat kehidupan bermasyarakat tidak lagi aman, damai dan tentram.
Harapan-harapan itu, seperti disebutkan sebelumnya, memang sudah menjadi keinginan klise bagi masyarakat. Faktanya, keinginan klise seperti inilah yang paling sulit untuk dicapai dan diwujudkan.
Lalu siapa yang bisa mewujudkan harapan-harapan tersebut ?
Mutlak tetap, hanya satu kekuatan yang mampu mewujudkan harpan-harapan tersebut, yaitu kekuatan Sang Pencipta. Dalam sekejap mata Dia mampu mewujudkan perubahan yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Tapi Sang Pencipta, tidak akan serta-merta begitu saja melakukan hal tersebut. Dia akan melihat sejauh mana ikhtiar yang dilakukan oleh kita. Jika hanya bediam diri dan saling mengandalkan, jangan harap perubahan yang didambakan bisa terwujud.
Satu hal yang harus ditancapkan sekuat mungkin dalam hati dan pikiran, kita semua harus berusaha untuk mewujudkan harapan dan perubahan yang lebih baik bagi Tanah Air. Bukan sekedar janji-janji pemimpin dan pemerintah atau masyarakat yang hanya mengandalakan dan mengkrtisi pemerintah. Tapi kita bersama, seluruh masyarakat dan pemerintah. Gotong-royong membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih maju.
Jika hanya pemerintah yang diandalkan, harapan-harapan tersebut seketika hanya akan menjadi harapan kosong. Ibarat seseorang yang menyongsong cita-citanya dengan separuh badan. Ia akan lebih banyak menjumpai halangan dan rintangan. Bukankah itu sulit ?
Oleh karena itu, persatuan, kesatuan dan kebersamaan adalah faktor utama dan terpenting dalam mewujudkan harapan ini. Banyak uang tanpa kebersamaan, tentunya hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial karena pembagian yang tidak merata. Namun dengan kebersamaan, uang sedikit dapat dimanfaatkan secara adil karena sifat kebersamaan yang bisa saling merasakan kesulitan sesamanya.
Melihat keadaan sekarang, dimana harga bahan pangan yang melonjak naik ditengah sempitnya lapangan pekerjaan, pendidikan yang belum disentuh oleh seluruh lapisan masyarakat serta kehidupan politik yang penuh kicruh, nilai kebersamaan atau persatuan dan kesatuan antar masyarakat dan jajaran pemerintahan mulai menyusut bak balon udara yang kehabisan bahan bakar ditengah perjalanannya.
Sebenarnya, sifat kebersamaan dan gotong royong, persatuan serta kesatuan sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia sejak dulu. Salah satunya ditunjukkan oleh para pejuang kemerdekaan. Dengan senjata seadanya namun semangat persatuan dan kesatuan yang menggebu, mereka mampu meraih kemrdekaan bagi bangsa Indonesia. Yang mereka perjuangkan bukan hanya harta, melainkan juga harta. Namun demi kemerdekaan, yang bisa dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia, mereka rela mengorbankannya.
Namun seiring perkembangan zaman, berbagai perubahan yang terjadi serta masuknya pengaruh budaya asing di Tanah Air dewasa kini, justru menyisakan kesan seolah masyarakat dan jajaran pemerintahannya meninggalkan budaya yang tercermin dalam semboyan tersebut.
Bisa kita lihat dan rasakan, semakin berumur, Ibu Pertiwi justru mengalami krisis gotong-royong. Sebagian besar pelaku pemerintahan lebih memprioritaskan kepentingan pribadinya daripada kepentingan bersama. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya beberapa kasus korupsi dalam pemerintahan. Salah satu akibat atas tindakan korupsi itu ialah perlahan membentuk masyarakat yang indivisualis dimana mereka tak lagi memberikan perhatian atau peduli dengan apa yang dialami orang lain. Yang terpenting adalah kebutuhan pribadinya telah terpenuhi.
Seandainya sikap kebersamaan dan jiwa gotong-royong antar semua elemen kehidupan bermasyarakat ini masih berlangsung stabil dalam kehidupan penuh persaingan dewasa kini, niscaya tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial berlebih, baik itu intern antar pelaku pemerintahan, intern antar masyarakat maupun antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan semangat gotong-royong pula pemerintah dipastikan mampu meminimalisir permasalahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan semangat kebersaman, pelaku pemerintahan akan takut melakukan tindakan hina, seperti korupsi, karena mereka mempunyai kesadaran sebagai pemimpin yang mengemban kepercayaan rakyatnya. Mereka akan malu, jika makan kenyang dan tidur nyenyak dalam balutan selimut hangat sementara banyak rakyatnya menikmati makanan sisa dan tidur hanya ditutup sehelai pakaian tanpa balutan kain lainnya.
Dengan semangat kebersamaan, masyarakat akan memanfaatkan dan mengoptimalkan sebaik mungkin fasilitas yang disediaan pemerintah. Mereka akan mengkritik dan mengingatkan kesalahan yang pemerintah lakukan melalui musyawarah bukan demonstrasi anarkis.
Untuk kembali membangun sifat kebersamaan serta persatuan dan kesatuan tersebut dibutuhkan pengorbanan dan pengabdian dari berbagai kalangan.
Contohnya, dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Baik secara langsung maupun tidak, sang anak akan mencontoh tindakan orangtuanya. Jika orangtuanya rajin bersedekah dan sikap seperti demikian sudah dibudayakan sejak dini, sang anak juga akan terbiasa bersedekah dan melakukan kebiasaan itu hingga dewasa.
Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintahan harus dibangun seperti keluarga. Pemerintah berperan sebagai orangtua dan rakyat sebagai anaknya. Pemerintah harus menjadi panutan bagi rakyatnya. Panutan yang bisa mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan, bertanggungjawab, bijaksana dalam mengambil keputusan, cepat dan tepat dalam mengambil suatu tindakan. Dimulai dari hal yang kecil, dari lingkup yang sempit dan dimulai dari sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar