Sabtu, 12 Februari 2011

Gadis dan Gelap

Dengan terpogoh, anak itu berlari kecil mencoba meraih telapak tangan ayahnya yg mulai membeku. Dipandangnya wajah tegar yang kerap memacunya untuk berdiri utuh. Tak lama, tubuh anak itu tersungkur jatuh. Kurk yg membatasi langkahnya diletakkan perlahan di samping bagian kakinya yang hilang. Tangannya bergetar keras, kelelahan dan perlahan melintasi bagian kepala yang berlumur darah. Dibersihkan semampunya agar ia bisa melihat lebih jelas wajah itu. Tapi ironis, hanya mata terpejam tenang yang ia dapat.
“Ayah …., ” rintihnya. “Jika kau tak lagi membuka matamu, lalu siapa yg bersedia melihatku?”
Tak ada air mata dari pelupuk matanya, tapi dunia menangis karena ketegaran anak itu.
Suasana sunyi beralih. Setelah habis semua suara peluru senapan tak berbudi, kembali suara sirine mobil polisi membahana taman kota.
Kerusakan atas huru-hara terlihat jelas. Tapi tak nampak gunungan jasad bagi mereka yang terlibat.
Hanya di satu titik, darah dan air mata mengalir. Tak ada yang peduli.
Polisi mulai mengamankan pasukan pembela kebenaran yang membunuh kebenaran itu.
Seorang polisi menyusuri puing-puing kerusakan dan berlari menyelamatkan anak itu.
“Ayo, nak! Ikut saya! Nyawamu terancam di tempat ini!”
“Mereka membunuh ayahku, pak! Apa salahnya?”
“Saya tidak bisa menjelaskannya dan kamu tidak akan mengerti, nak. Sekarang ikutlah dengan saya. Saya akan merasa bersalah seumur hidup jika tidak menyelamatkanmu dari tempat yg berbahaya ini.”
“Apa salah jika ia berjualan bakso di tempat ini? Kenapa harus dia yang mati ? Lihatlah! Matanya tak lagi melihatku. Mau pergi kemana aku tanpa dia?”
“Ikutlah dengan saya ! Saya hanya ingin menyelamatkanmu! Biarkan untuk sementara ayahmu di sini! Jika keadaan sudah aman, kita kembali untuk menjemputnya!”
“Tidak!! Ayah harus melihatku!”
Digendongnya secara paksa gadis kecil itu. Menjauh dari keramaian yang ada dan meninggalkan ayahnya yang membeku.
“AYAH !!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar