Senin, 14 Februari 2011

HAMMIA (Gadis dan Gelap)

Perlahan, kaki kanan Hamia yang mungil, berpindah selangkah lebih maju. Kedua tangannya tak henti mengawali derap langkah kaki itu. Sejenak terhenti membenahi kerudungnya yang melorot nyaris menutupi mata. Kembali tangan-tangan Hamia lincah menggerakkan jangka, walau terasa sedikit perih pada kedua bagian ketiak akibat dari gesekan antara kayu pelapis jangka dengan kulit pada bagian tersebut. Perlahan namun pasti.

Beberapa pasang mata menatap lekat Hamia yang berjalan terus dengan terbata-bata. Padahal pemandangan ini bukan yang pertama. Sedangkan teman-teman sebaya Hamia, berlalu-lalang dengan sepeda atau belari riuh silih berkejar menuju mushola. Tak sedikit diantara mereka yang berbisik merasa iba dan tak sedikit pula diantaranya yang menghujat atau mencemooh keadaan Hamia.

Senyum sumringah tersimpul ringan di raut wajah Hamia. Di sana juga, masih menyisakan bekas luka memar dan tergores, seperti cakaran kucing. Kaki Hamia berhasil kembali menginjak teras mushola yang dingin mneyejukkan. Diletakkan kedua jangka di tempat biasa, pojok kanan belakang ruangan dan merangkak sekuat tenaga hingga masuk barisan jama’ah yang sudah menggunakan kain mukena. Dan adzan maghrib pun berkumandang.

↗↗↗

“Bu, sebagian disimpan buat biaya Hamia periksa ke dokter.” Dihempaskannya uang dalam genggaman ibu ke atas bangku.

“Saya pusing, pak! Capek sekali! Gak ada gunanya! Tiap hari banting tulang, bantu bapak bikin adonan, terus nyuci, nyetrika baju tetangga kalau ujung-ujungnya tuh uang cuma dipake buat anak itu periksa! Bukannya dia sudah sehat? Toh sudah bisa jalan sendiri kan?” nadanya meninggi.

“Tapi mana kita tahu keadaan Mia yang sebenarnya. Bagaimana kalau ada masalah dengan organ dalamnya? Itu kan nantinya lebih repot lagi, bu.”

“Iya, saya tahu. Tapi harus tau keadaan dong, pak! Buat sekarang yang penting kan Mia sudah bisa jalan sendiri! Inget, pak! Banyak kebutuhan rumah yang harus dibeli kontan pake uang! Gak bisa ngutang terus.”

“Iya, nanti Bapak kerja lebih giat lagi, bu!” seraya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

“Bapak ini bisanya cuma omong saja. Yang realistis dong, pak! Hidup kita ini susah!” menghela napas sejenak, nadanya sedikit menyindir. “Dulu, saya pikir bapak bisa bikin saya bahagia, lahir batin. Bisa bikin saya hidup lebih baik,” sambil merapikan lembaran uang yang berantakan di atas bangku. “Eh, tidak tahunya. Setelah nikah, anaknya malah celaka, kios baksonya di pasar ditutup buat biaya anaknya. Dan sekarang, sudah anaknya sembuh, masih juga harus menyisihkan uang yang pas-pasan buat biaya dokter anaknya.”

“Itu musibah. Siapa yang mau coba?”

“Iya musibah! Musibah anak bapak, tapi saya yang kena abunya!”

“Jadi mau kamu apa?!” suara bapak lantang menampar di hadapan ibu.

“Mau saya? Baik, saya mau cerai saja! Cerai saja!” suaranya tak kalah lantang. “Saya capek hidup seperti ini terus. Selalu saja anak bapak yang dipikirkan. Saya? Mana pernah!” lanjutnya.

“Terserah!”

“Baik! Besok pagi-pagi saya pulang. Silahkan selesaikan sendiri!” menetes air mata di pelupuk mata ibu dan, praaangngng. Panci besi ibu jatuhkan ke lantai, kemudian ia lari masuk kamar, menutup keras pintunya hingga semua kaca bergetar.

Bapak menunduk menghadap tembok, mengepalkan telapak tangan kanannya keras penuh tenaga dan lengannya secara sadar mendorongnya pada tembok hingga menyisakan getaran kemarahan.

Tanpa disadari, sepasang telinga masih bekerja menangkap gelombang bunyi yang berderai uraian kata di balik dinding kamar. Sudah sedari tadi Hamia menahan tangis tanpa suara, memahami yang terjadi terhadap bapak dan ibu tirinya. Menyesali keadaan yang harus merugikan orang lain, termasuk ibu tirinya yang selama ini selalu bertindak lembut pada Hamia.

Hamia bangun dan duduk bersandar pada dinding kamar. Memandang bagian bawah tubuh. Berapa kali pun Hamia melihatnya, tetap hanya akan mendapati kaki kiri yang hilang hingga bagian lutut. Bagaimanapun khayalannya, bagian itu kini sudah bukan lagi miliknya.

Hamia teringat rasa sakitnya. Ketika tiang di depan ruang kelasnya, sekolah dasar negeri, retak hingga runtuh dan menimpa tubuh Hamia yang sedang berlari bersama teman-temannya keluar dari kelas untuk menghindari puing-puing atap bangunan yang akan ambruk.

Kaki kiri Hamia tertimbun potongan besar tiang bangunan. Rasa sakit itu hanya sekejap, karena selanjutnya Hamia tak merasakan rangsangan seperti apapun pada kaki kirinya. Tambahannya, luka besar yang membuat tulang kakinya potong dan langkah terakhir, kaki kiri gadis tujuh tahun ini harus diamputasi. Memar dan bekas luka atas timpaan runtuhan puing bangunan tersebut masih membekas di beberapa bagian tubuhnya, termasuk pada wajah mungil Hamia.

Ironis, seorang Hamia harus pincang karena bangunan sebuah sekolah negeri. Hanya ada biaya pengobatan dari pemerintah. Itupun hanya untuk biaya rumah sakit sebagian dan membeli jangka, sedangkan untuk biaya check up atau obat yang diperlukan, tetap harus merogoh saku bapak. Hingga terpaksa, bapak harus menjual kios baksonya di pasar. Dan ibu tiri yang Hamia sayang, menyerah pada keadaan.

↗↗↗

Adzan subuh bergema luas menambah keindahan kekuasaan-Nya.

“Hamia sayang. Bangun, nak. Kita sholat subuh berjamaah.” Suara lembut bapak membangunkan Hamia yang semalam terlelap dengan air mata.

“Ayo bangun! Ambil wudhu, kita sholat di sini saja.” Hamia mengangguk pelan dan bangkit dari tempat tidurnya dibantu bapak mengambil jangka.

Walau sudah mulai terbiasa dengan keadaan sekarang, tapi bukan berarti Hamia dapat dengan mudah menerima keadaannya. Hamia kerap menangis. Bukan untuk kekurangan fisik yang kini Hamia dapatkan, melainkan perasan bersalah terhadap orang-orang yang menyayangi Hamia, terutama bapak dan ibu. Hamia merasa hanya hidup menjadi benalu tanpa impian bagi mereka. Menyusahkan, menambah masalah, membuat mereka malu hingga puncaknya harus memisahkan bapak dengan ibu.

Air wudhu yang membasahi telapak tangan dan wajah sangat menentramakan hati Hamia yang galau. Hamia merindukan kebersamaan ini. “Ibu kemana, pak?”

“Ibu sudah pergi.” Hamia tahu, maksud pergi kali ini adalah untuk tidak kembali. Hamia dengan jelas melihat raut kesedihan diantara kerutan yang makin bertambah di wajah bapak. “Ayo kita mulai sholatnya, Hamia qomat dulu ya!” Hamia duduk dan memulai iqomat.

“Assalamu’alaikum warahmatulloh,” menghadap kanan.

“Assalamu’alaikum warahmatulloh,” menghadap kiri.

Lafadz istighfar seusai sholat, mengalun sejuk dari mulut bapak. Hamia mengamini do’a yang bapak panjatkan. Setelah membaca surat Al-Fatihah, Hamia melanjutkan do’anya dalam hati.

Ya Alloh, terimakasih atas kenikmatan yang masih Engkau limpahkan buat Hamia. Sayangilah bapak. Hanya memohon kebahagian yang indah dari-Mu hadiah terbaik dari Hamia buat bapak yang hebat. Kabulkan ya Alloh. Amin.

Bapak menoleh ke belakang dan tersenyum memandang putrinya. Walau senyum di wajah Hamia sedikit memudar, tapi aura cahaya yang dipancarkan Hamia tidak berubah. Seperti cahaya anak yang soleh. Jadikanlah ia anak yang tegar Ya Alloh. Batin bapak.

“Hamia minta apa?” bapak mendekati Hamia dan duduk didepannya.

“Ada aja!” wajah Hamia tetap menggemaskan walau goresan luka jelas membekas di pelipisnya.

“Loh? Kok gitu? Berdo’a buat bapak gak?”

Hamia mengangguk kecil dan tersenyum bahagia. Sangat lepas. “Tentu saja. Itu yang paling utama. Buat bapak!” Direngkuhnya Hamia dalam pelukan dan bapak mencium penuh cinta pada kening Hamia. “Hamia sayang bapak, sangat sayang bapak,” bisik Hamia sepenuh hati hingga air matanya jatuh.

“Apalagi bapak. Bapak sangat, sangat, sangat sayang Hamia. Jadilah anak yang solehah sayang,” ungkap bapak dalam tangisan kasih sayang. Sungguh indah.

↗↗↗

“Man! Buat nanti sore semua beres! Masa sudah sanggup! Kita bakal buat penyerangan ini kaya demonstrasi mahasiswa dari BEM kampus kita. Jadi posisi kita aman. Lokasi penyerangan sekitar Monas.”

“Bagus! Gue pengen, Si Bajingan itu mampus! Salah sendiri, berani ngerbut cewek seorang Herman Wijaya! Hahahah…”

↗↗↗

“Jadi Hamia mau ikut bapak?” Hamia mengangguk. “Nanti pulangnya malam lho. Hamia gak bisa sekolah agama dong?”

“Hari ini libur kok, pak! Ada pengajian ibu-ibu. Ya, boleh,pak? Hamia nanti gak akan minta apa-apa deh. Cuma mau liat bapak kerja aja sambil jalan-jalan, dari pada di rumah sendiri,” minta Hamia.

“Baiklah! Untuk putrid tercinta, hari ini bapak gak akan keliling jauh-jauh.”

“Hore!! Hamia ikut jalan-jalan sama bapak!”

↗↗↗

“Dua dibungkus, bang! Yang satu baksonya aja. Yang pedes, ya!” bapak mengangguk mengerti.“Ini anaknya abang?” bapak tersenyum.“Maaf, kakinya kenapa?”

“Kecelakaan, mbak! Tertimpa tiang sekolahnya yang roboh.” Mulut pembeli itu membentuk huruf “O” dan menampakkan rasa iba pada Hamia. “Ini baksonya, mbak!”

Pembeli itu berlalu. Hamia menunduk sedih. “Bapak maaf.”

“Maaf untuk apa sayang?”

“Pasti bapak malu karena Mia.” Bapak hanya tersenyum dan berlutut kemudian memegang kedua bahu Hamia. “Sayang dengarkan bapak. Jangan pernah merasa malu dengan keadaan kamu sekarang. Jangan takut karena orang lain melihatmu.”

“Tapi, banyak orang-orang yang sepertinya gak suka sama Mia. Cuma bapak yang mau jaga Mia. Mia takut kalau gak ada bapak.”

“Sssstt. Kamu harus yakin kepada Alloh. Jangan pernah merasa takut sendirian karena Alloh senantiasa menemani kita dan melihat kita, kapanpun dan dimanapun. Yakini itu.” Hamia tersenyum dan memeluk bapak.

“Sekarang kita kemana, pak? Gimana kalau ke Monas?”

“Baiklah, ayo kita ke sana!”

↗↗↗

“Kita berhenti di sini saja, nak!” Hamia mengangguk.

“Pak, Mia mau kesana,” tunjuk Hamia ke ujung Monas. Bapak hanya tersenyum geli. “Nanti bagaimana jualan bapak?”

“Oh, iya. Mia lupa. Lain waktu aja ya, pak?” lagi-lagi bapak mengangguk geli melihat garis senyum bahagia yang lepas dari pada wajah bulat Hamia. Rasanya tenang kalau sudah melihat Hamia seperti ini.

↗↗↗

“TURUNKAN HARGA BAHAN PANGAN!!!”

“PEMBODOHAN!! BBM TURUN BAHAN PANGAN NAIK ONGKOS JUGA NAIK!!”

“SETUJU!!!”

↗↗↗

Sore mulai menjelang. Bapak dan Hamia masih menikmati panorama langit sore Ibu Kota. Menakjubkan, Hamia kembali bisa menghabiskan waktu berdua denagn bapak. Walau hanya menemani berjualan, Hamia merasa menemukan kepingan hati yang hilang, lebih berharga dari pada kaki kiri yang tak lagi dimiliki.

↗↗↗

“HIDUP RAKYAT!! SEJAHTERKAN RAKYAT!! TURUNKAN HARGA BARANG PANGAN!”

↗↗↗

“Nak, tunggu di sini. Jangan beranjak dari sini. Bapak mau bawa mangkuk di seberang sana. Tetap di sini. Janji pada bapak?”

“Karena Mia anak yang baik, Mia janji!” Mereka saling beradu jari keliking dan saling tersenyum. “Bapak sayang kamu, nak!” bapak mencium lekat kening Hamia. “Hamia juga.”

Bapak melepaskan tangannya dari kepala Hamia dan menyebrang. Hamia memandangi punggung kuat ayahnya. Melihat jemari tangan yang kulitnya kasar dan semakin dipenuhi kerutan-kerutan. Hamia cinta bapak. Batin Hamia.

↗↗↗

Dari dua arah yang berlawanan, dua rombongan mahasiswa menyerbu dengan poster dan spanduk-spanduk tuntutan. Entah, apakah itu tuntutan atas nama rakyat atau hanya tuntutan pribadi, atau mungkin ada maksud lain. Entahlah. Kenyataannya, bagi mereka ini tindakan yang benar.

“TURUNKAN HARGA BAHAN PANGAN”

Diantara kerumunan mahasiswa, “Itu dia Man orangnya!”

“Ok! Kerahkan masa sekarang! Serang! Habisi orang itu! Biar mampus dia!”

“Woi.. SERANG!!!!”

↗↗↗

“Wah! Ada yang demo kayaknya, ya bang! Rame sekali!”

“Iya, sekarang kayaknya lagi musim tuh protes sama pemerintah. Lain waktu ditunggu beli lagi iya!” Bapak tersenyum pada pelanggan tersebut seraya merapikan mangkuk bakso dan membawanya kembali menuju gerobak bakso di seberang jalan.

Bapak berjalan berhati-hati menuju gerobak baksonya kembali. Di seberang sana terlihat Hamia duduk menunggu. Terlihat oleh bapak, dalam satu jalan dua gerombolan orang dari arah berlawanan datang membawa spanduk-spanduk kekecewaan terhadap kinerja pemerintah.

↗↗↗

“BAPAK!!”

↗↗↗

“TURUNKAN HARGA PANGAN!!”

Semua suara menyuarakan kekecewaan. Hanya satu suara yang terdengar berbeda makna. Dari satu arah, gerombolan itu maju menuju gerombolan lainnya dan menyuarakan, “SERANG!!!!!!”

Sinar matahari sore mulai meredup. Ia mulai kembali ke peraduannya. Di bawah biasnya, baku hantam pun terjadi. Bapak terkurung diantara gerombolan itu. Mangkuk yang dipegangnya jatuh berantakan. Mencoba melarikan diri dari kerusuhan ini, namun sulit. Masa yang ada terlalu banyak.

“ITU ORANGNYA, MAN!! TEMBAK DIA!!!”

DORRRR!!! Suara peluru melepas bebas bergema dan berkejaran dengan suara adzan maghrib yang mulai menggema alam raya. Bapak tersentak. Tangannya memegang bagian dadanya.

“Man, kita salah orang!! Itu bukan SI BANGSAT!!”

“BEGO LO!! LO BILANG ITU DIA!! KABUR!! PUKULI DULU ORANG ITU!!”

“Ha… mm.. Hami..aaa…”

↗↗↗

“Ramai sekali. Bapak dimana ya, Hamia takut.” Hamia memandang lekat gerombolan orang itu. Ingin Hamia pergi ke sana tapi apa daya, Hamia takut. Hamia juga sudah berjanji pada bapak.

Suara sirine mobil polisi meramaikan keadaan. Gerombolan itu perlahan mulai melarikan diri. Menghambur, menjauhkan diri dari jalanan itu.

“Bapak dimana?” Hamia mulai gelisah. Tak bisa Hamia melihat bapak. Hamia berdiri, mulai mencari-cari bapak. Sebagian dari gerombolan itu bersembunyi di balik gerobak bakso bapak. Hamia benar-benar takut. Hamia terus mencari bapak. Terpaksa hamia mencari bapak ke tengah puing-puing kerusuhan itu. Lelah, takut, resah dan khawatir. Hamia mencari bapak walau Hamia harus berjalan kesakitan. Di tengah, Hamia melaihat tubuh kekar pelindungnya terkapar berlumur darah.

Dengan terpogoh, Hamia mencoba berlari kecil meraih telapak tangan bapak yang mulai membeku. Tubuh Hamia tersungkur jatuh dan memandang lekat wajah tegar yang kerap memacu Hamia untuk berdiri sepenuhnya. Jangka yang membatasi langkah Hamia diletakkan perlahan di samping bagian kaki yang hilang. Tangan Hamia bergetar keras. Tangan bapak dingin dan dadanya berlumur darah. Dibersihkan semampu Hamia. Dibelai lembut wajah bapak yang penuh memar. Hanya mata terpejam yang Hamia dapati.

"Bapak…," rintihnya. "Jika bapak tak lagi membuka mata, lalu siapa yg mau melihat Mia?" Tak ada air mata, tapi dunia menangis karena ketegaran Hamia. Suasana beralih sunyi. Ada apa ini? Batin Hamia.

Kerusakan atas huru-hara terlihat jelas. Tapi tak nampak gunungan jasad mereka yang terlibat. Hanya di satu titik, darah mengalir dan tak ada yang peduli.

Polisi mulai mengamankan pasukan perusuh itu dan dikhawatirkan akan ada serangan lanjutan. Beberapa yang terlibat berhasil ditangkap. Seorang polisi dengan penuh peluh, menyusuri puing-puing kerusakan dan berlari menyelamatkan Hamia.

"Ayo, nak! Ikut saya! Nyawamu terancam di tempat ini!"

"Mereka membunuh bapak! Apa salahnya?"

"Saya tidak bisa menjelaskannya. Kamu tidak akan mengerti, nak! Sekarang ikutlah dengan saya. Seumur hidup saya akan merasa bersalah jika tidak membawamu dari tempat ini."

"Apa salah jika bapak berjualan bakso di sini? Lihatlah! Matanya tak lagi melihat Hamia. Mau pergi kemana Mia tanpa bapak?"

“Ikut saya saja, biar untuk sementara bapakmu di sini! Nanti kita kembali."

"Tidak!! Bapak harus bangun!" Hamia digendong paksa. Menjauh dari keramaian yg ada dan meninggalkan bapak yang membeku .

"BAPAK!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar