“Manusia tidak akan pernah sanggup berjuang keras tanpa harapan. Itulah salah satu kalimat indah yang pernah kakakku tulis. Aku menyukainya. Bukan suka karena yang menulisnya adalah kakakku, tapi lebih dari itu. Setelah dia menjelaskannya untukku, aku mencari tahu, apa benar makna kalimat itu sama seperti apa yang dia jelaskan? Aku belajar mencarinya di buku Bahasa Indonesia bahkan sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi aku sama sekali tidak menemukkan apa yang kakak maksud. Aku menyesal tidak menyadarinya dari awal. Aku baru jelas memahami makna kalimatnya saat musibah itu akhirnya datang menimpa. Walau bukan datang untukku secara langsung, tapi aku bisa merasakan bagaimana menyedihkannya musibah itu.” Amanda mengghentikan ceritanya untuk memperbaiki jilbabnya yang melorot.
#*#
Bila duniaku mampu mengunggah seluruh kata, aku hanya ingin merangkainya menjadi satuan kalimat yang bermakna positif. Akan kuterjang olokan dan sampaikan pada mereka bahwa aku mau berbagi. Ingatan kisah yang kelam sekalipun, jika itu memang bernilai, akan ku paparkan pada mereka yang mau maju. Kisah tawa yang mustahil untuk kembali, akan ku bingkai untuk mereka juga.
“Mbak Chacha, jika aku dewasa nanti aku mau seperti mbak!” Bahagia tak terperi melihat anak kecil itu tersenyum sumringah dengan janji yang meyakinkan. Degup jantung, bahkan seluruh jiwaku terhentak medengarnya. Apalah lebihnya aku, Manda?
Senandung mentari sudah siap berlalu dan digantikan hawa panas akibat sorotan matahari yang meninggi. Amanda membuka lebar jendala yang menghadap tempat tidurku dan dia mengarahkanku untuk duduk menghadap langsung ke luar. Aku bisa melihat jelas suasana di luar. Satu pohon besar dengan daun bermekaran menghijau, menutupi sinar matahari yang menysup-nyusup masuk pekarangan rumah tua ini. Sehingga, dibalik jendela ini, aku masih merasa teduh. Kusaksikan dengan seksama, bagaimana pekarangan yang seminggu lalu masih hijau hanya dengan rerumputan, kini berceria dengan sentuhan warna kuning bunga bakung yang menggeliat. Ditambah lagi mawar warna-warni yang dipindah dari teras rumah ke pinggiran pagar. Amat mempesona dan menyejukkan. Menambah lengkap kebahagiaan di awal hari ini.
“Aku buatkan mbak segelas susu dan aku simpan sebatang coklat di sampingnya. Kalau aku pulang, aku mau semuanya sudah habis dilahap mulut Mbak Chacha! Hehehe,” dia nyengir dan mencium keningku. “Aku pergi Mbak!” Aku hanya sanggup membalas keramahan dan keeriaan itu dengan senyuman. Air mataku juga menetes. Terima kasih sayang, batinku. Segalanya terasa ringan lagi sekarang.
Mataku tertuju pada satu titik. Bunga mawar bewarna putih memikat. Seolah dia memangilku untuk berbagi bagaimana wanginya. Hatiku semakin riuh membayangkan bagaimana harumnya jika ku genggam setangkai saja mawar itu. Pikiranku melayang, menembus masa lalu yang kurasa penting untuk di ingat. Saat aku lulus sekolah, saat aku menjadi sarjana, saat pertama aku ditempatkan bekerja, ketika tulisan pertamaku meledak, dan bagaimana aku menyukai seorang lelaki. Kejadian selanjutnya, aku berusaha untuk tidak mengingatnya. Pedih, itu yang kuingat.
Dan lamunan ini berhenti, ketika seseorang membuka pintu. Aku menekan tobol berputar di kursi kesayanganku. Ibarat sebongkah es berukuran jumbo menghatam dada, aku terkejut melihat siapa yang berdiri di ambang pintu itu. Tubuhnya masih kekar, pundaknya yang datar masih tangguh di sana, bola matanya yang hitam pekat, masih seperti yang kuingat. Hanya kurasa dia sedikit kurus dengan kaos polo shirt putihnya dan potongan rambutnya sedikit lebih panjang dan lebat. Tanganya menggenggam seikat mawar putih, besar dan banyak.
“Chacha?” dia tersenyum sementara aku menikmati air mata yang sudah membasahi pipiku sedari tadi.
#*#
“Ketika itu, kakak memutuskan untuk belajar jauh dari rumah demi mendapatkan cita-citanya. Padahal dia sudah dapat pekerjaan yang menyenangkan di sini dan kakak baru lulus kuliah. Dua tahun lebih dia hanya menghubungi kami sekeluarga lewat email. Tapi beruntung, aku masih bisa membaca kata-kata mutiaranya, seperti salah satunya yang ku ingat; bahagia dan sedih selalu datang walaupun kau terlelap menutup mata. Ketika itu juga masih ku cari makna kalimat yang pernah kakak jelaskan sebelumnya.” Lanjut Amanda.
#*#
Terik panas matahari mulai meninggi membuat es yang menghujam jantungku perlahan mencair. Lama kami berdiam menikmati angan masing-masing. Senyuman selalu mengembang, matanya ceria tapi berkaca. Sudah kukatakan, aku tak sanggup untuk tidak menangis, bahagia dan terharunya aku. Seikat mawar putih itu dia letakkan dipangkuanku, aku hanya mengedipkan mata yang berair tanda terima kasih. Mawar putih memang selalu membawa nuansa tak terduga, seperti itulah yang kurasa. Baru saja aku membayangkan mencium setangkai baunya, sekarang seikat mawar putih sudah kudekap lemah.
Dia duduk di atas sofa memanjang depan ranjang, menghadap padaku. Dadaku berdegup senada dengan biru dan ceria. Aku memandanginya, matanya yang hitam pekat mempesona, auranya semakin cemerlang. Jika bisa, ingin kusentuh dan tahu bagaimana tekstur kulit pipinya sekarang dan mendengarnya marah setiap kali ku lakukan itu, dulu. Air mata semakin menderai. Dadaku berdegup makin kencang.
#*#
Amanda melanjutkan kisahnya di depan kelas.
“Suatu malam, tiba-tiba kami sekeluarga dikejutkan kabar tentang kakak. Aku masih ingat, bagaimana mama menangis dan jatuh pingsan berulang kali. Ingatanku juga masih sangat jelas, ketika kakak pulang denga mata dan mulut tertutup. Aku pikir, aku tak akan pernah melihatnya lagi, tapi beruntung, selang beberapa waktu, matanya terbuka dan bibirnya tersenyum. Bagian badan selebihnya, hanya bisa digerakkan kalau aku atau orang lain yang menggerakkannya.
Walau demikian, pikirannya masih dahsyat. Kakak masih sanggup menulis banyak cerita tanpa lengannya. Lima buku dalam sepuluh tahun ini dia tulis segenap kemampuannya. Pada awalnya, kakak menulis dengan mulutnya. Kakak gerakkan pensil dan bolpoint dengan mulutnya, lalu menulis apa yang dia rasakan atau butuhkan. Kakak bercerita, masih banyak yang ingin dia wujudkan untuk berkontribusi lebih baik terhadap dunia. Kakak sadar keadaannya sekarang, tapi kakak tidak mau hidupnya sia-sia.”
#*#
“Aku sudah membaca semua karyamu dan aku bahagia melihatmu seperti ini,” aku tahu, dia belum menyelesaikan kalimatnya, “aku... lebih dari bangga padamu,” aku juga yakin masih ada yang belum dia katakan. Lagi, hanya mata penuh air yang menrespon ucapannya. Hatiku lemas karena bahagia. Apakah dia mengerti perasaanku dulu, sekarang dan seterusnya?
“Kau tahu? Sejak saat itu, aku bangkit perlahan dan ingin mengenangmu. Aku menanam mawar putih sebanyak yang aku mampu. Setiap tangkai yang berbunga, aku menjaganya agar tidak layu karena aku membayangkan mawar putih itu adalah kau, Keyza Anantisya Olivae Wilhelmina, oh bukan, tapi Annissa Wildani.” Hatiku terenyuh. Ingin rasanya membiaskan warna pelangi jauh dari kahyangan, mendekapnya dihati dan kumiliki selamanya. Kau memanggil namaku sekarang.
“Bagaimanapun berusaha menjaganya, aku belum pernah bisa menahan mawar-mawar itu untuk tetap segar. Selalu ada masa ketika mawar-mawar itu harus layu dan mati. Tapi mereka juga tak pernah berhenti tumbuh menjadi baru. Seperti kau, selalu bersemangat untuk maju, bagaimanapun keadaanmu. Setiap kali mawar itu mekar, aku mebayangkan harapan-harapanmu yang lahir kembali. Duri yang tajam hanya ia gunakan ketika sekelompok orang berusaha mematikannya.”
Seberkas cahaya menyala-nyala di matanya yang berkaca. Tidak, dia mulai meneteskan air mata. Jika boleh, aku mau dia memelukku. Cahaya matahari makin terasa panas menyoroti tubuhku. Hatiku terlalu lumer dibuatnya.
Aku berusaha membungkukkan badan ingin mencium jelas harum mawarnya. Badanku terlalu gemetaran untuk melakukannya. Secara tangkas, dia mengangkat mawar mendekati wajahku. Menyejukkan harum yang ku rindukan, namun sedikit berbeda. Harum mawar ini, ada nuansa kehangatan kasih sayang. Dia menanamnya untukku. Kemudian, dia berlutut di depan kursi rodaku dan tetap memegangi mawar itu untukku.
“Cha..., maafkan aku,” lirihnya penuh penyesalan. Tangisku semakin menjadi. Mawar-mawar itu ikut basah.
#*#
Sepuluh tahun lalu, di Mellbourne.
“Aku mau menikah denganmu!”
“Apa?!”
“Kenapa kau begitu histeris? Aku.. mau.. menikah denganmu.” Dia diam bergeming. “Kamu ini kenapa, Ky?”
“Hhhm, Cha, itu tidak mungkin untuk sekarang ini.”
“Kenapa, Ky? Kita sama-sama sudah berkarir, dan aku yakin kau sudah siap untuk sebuah pernikahan.”
“Bukan itu masalahnya, Cha.” Dia membalik badan dan menajuh dariku. Setiap aku berusaha menatapnya, matanya berkeliaran entah kemana menghindari.
“Lalu? Karena keyakinan kita? Sudah ku katakan, aku mau berubah...”
“Cha, keyakinan bukan suatu hal yang harus kau pertimbangkan karena orang lain. Keyakinan itu dari sini,” dia menujuk dada dengan telunjuknya. “Jika hatimu yakin tentang apa yang ku yakini, maka tanpa keberadaanku disampingmu, sendirinya kau akan mengubah itu.”
“Lalu, why did you say that is impossible to marry with me?”
“Aku, masih harus menunggumu.”
“Menungguku? Menunggu sampai aku yakin dengan keyakinanmu? Rizky, aku butuh kamu untuk meyakinkanku.”
“Tidak, kau hanya perlu sedikit waktu untuk menyadarinya.”
“Apa? Sadar, Ky? Jadi kamu pikir selama ini aku tidak sadar dengan apa yang ku yakini? Begitu? Hah, kamu gila, Ky! Kamu pikir semua yang kamu yakini adalah benar? Kamu pikir kamu yang paling benar?”
“Bukan itu maksudku, Cha...”
“Lalu? Kau terlalu picik Rizky. Kalaupun kamu tidak bisa menerima perbedaan kita, itu urusanmu! Jangan telalu meng-undersetimate-kan yang berbeda denganmu.” Aku berjalan cepat menuju mobil di samping trotoar sana. Aku tinggalkan dia sendiri dengan pikirannya yang kuno.
“Tunggu, Cha! Aku bisa jelaskan maksudnya!” dia menarik lenganku, menahanku untuk tidak pergi.
“Apa? Sudah jelas! Sekarang aku hanya bisa mengerti, kamu nggak mau menikah denganku karena kamu tak pernah mencintaiku! Let me go now! “
“Cha! Tunggu!” aku berlari.
Mengabaikannya jauh lebih baik. Aku masih punya segudang masalah tanpa dia. Kupikir, dia mau mengerti, kenyataannya dia sama saja seperti yang lain. Membebaniku. Penolakkan ini paling menyakitkan daripada penolakkan ratusan tulisanku terdahulu. Sedih ini lebih menyayat daripada teror mereka yang ingin membunuh karena pendapatku dalam tulisan.
Rizky berdiri di sisi mobil lain, di atas trotoar. Kubuka pintu mobil menghiraukannya yang berkicau meminta maaf. Tubuhku terasa terpaku melemah saat mendengar getaran mobil dari arah lain dengan kecepatan tinggi dan menyerangku tepat ketika membuka pintu mobil.
“CHACHA!!!”
Tubuhku melayang tinggi menjauh dari sisi mobil hanya dalam hitungan detik. Dalam waktu singkat di udara, aku hanya melihat langit berbaur dengan darah yang melintas pelupuk mata. Sekejap saja, kusaksikan lukisan biru megah langit dengan binaran merah darah terhiasi awan. Megah.
Bruk! Yang terakhir kurasa, semua tulangku bunyi seolah gelas yang dipecahkan. Tak sampai disitu, tangan kananku yang tak berdaya terbuka di jalanan, dan kembali mobil itu melindasnya. Tubuhku seakan mati rasa. Semuanya terjadi sangat singkat, hanya dalam hitungan detik.
“Cha, bangun!” lengannya mengangkat leherku. Kubuka mata sekuat kumampu. Hampir segaris saja yang terbuka, dan kulihat dia menangis diantara rinai darahku. Berikutnya, aku lupa segalanya. Aku bermain mencari harapan baru di tempat yang belum pernah kukunjungi.
“CHACHAAAAAA!!” Suara terakhir yang kudengar.
#*#
Amanda menghela napas panjang. “Aku lihat bagaimana kakak berusaha keras menulis dengan mulutnya. Kawan, aku menangis setiap kali mengingatnya. Kakak belum pernah mengeluh, bahkan ketika mulutnya lecet atau orang tidak mengerti karena tulisannya tidak bagus. Selang satu tahun dari perjuangannya, Kak Anton, kakak keduaku yang masuk sekolah teknik, merancang sebuah program dan keyboard laptop lunak yang tidak ku mengerti bagaimana itu. Dikhususkan untuk kakak. Yang aku tahu, keyboard itu memudahkan kakak untuk menulis.
Hal hebat lainnya, dalam keterbatasan keadaannya sekarang, dia masih bisa mengambil keputusan berat untuk hidupnya. Keluarga hanya bisa mengikhlaskan untuk apa yang kakak harapkan. Kakak bilang, selama terlelap tak sadar, selalu ada cahaya mengkilap yang ingin dia sentuh. Tapi tak pernah bisa. Kakak bilang, cahaya itu seperti lafadz yang dipasang di dinding mesjid. Kakak juga selalu terenyuh setiap mengingat kisah muslim yang sabar menghadapi kekuasaan-Nya. Karena itu, seperti yang pernah kakak janjikan pada seseorang, dia menemukan caranya untuk berubah. Kakak putuskan untuk menjadi seorang muslim yang belajar untuk semakin taat kepada Sang Pencipta.”
#*#
Batasan yang tak pernah terhitung ketika cahaya yang redup bisa sedikit bersinar. Harapan itu akan selalu datang membahagiakan siapa yang mau, namun tergantung bagaimana disikapinya, membiarkannya menjadi mimpi tidur atau menggerakkan rodanya perlahan. Ketika pun aku tidak bisa menemui wajah yang ku rindukan ini, aku menuliskannya dan mendo’akannya. Karena ustadzku bercerita, ketika kau menuliskan harapanmu, maka malaikat akan mengamininya. Jadi, serahkanlah pada Sang Pencipta dan berusahalah.
Aku sudah sangat bahagia menemukan maksud keyakinan yang dia perbincangkan sepuluh tahun lalu. Aku menemukannya dengan caraku, dari mimpiku, menjadi harapanku, dan aku mengusahakan untuk memahaminya. Amanda, adikku, memahami keputusanku untuk menjadi muslimah, dengan caranya sendiri yang tak pernah bisa membendung rasa ingin tahu, dia menemukan juga makna lain dari perubahan yang kulakukan. Bukan masalah benar atau salah, ini lebih karena penemuan baru dalam perjalanan hidupku dan Amanda.
Aku lebih dari rindu dengan kehangatanmu.
Aku menunjuk laptop di meja samping ranjang. Dia membawanya dan membukanya untukku. Aku sentuh tombol dokumen. Menggerakkan kursor menuju setiap file yang kumaksud. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum. Dia mengerti. Aku yakin, dia membaca setiap file yang kutunjukkan tadi. Itulah perasaanku selama ini.
Air mukanya haru tapi senyuman tak pernah terlewat. Bahagia tiada tara.
Aku menunggumu. Setiap kali aku menulis, aku tak pernah lupa untuk bercerita bagaimana Alloh SWT menuntunku untuk menyadari kekuasaan-Nya dengan mempertemukan kita. Aku selalu menunggumu. Menunggu menjadi yang halal bagimu. Seperti maksudmu di tepi jalan itu. Mungkinkah janji itu terpenuhi?
“Cha, aku datang, untuk memenuhi janjiku, untuk menjaga dan merawatmu. Maukah kau menikah denganku?”
Matahari sudah nyaris kembali ke peraduannya. Langit menyorotkan rona oranye lembayung dan membahana megah di kamarku. Hatiku yang kalut, sepi dan sendiri menjadi berwarna. Air mata menghujani bumi karena aku bahagia. Seisi bumi seakan bertakbir, menggemakan apa yang ku nanti datang tanpa paksaan. Aku terkejut.
#*#
“Kakak cantik menawan! Jilbabnya bagus, aku iri!” bibir Amanda manyun, so cute my sister. Aku mengenakan jilbab untuk pertama kalinya. Tak ada hal lain yang lebih indah dari melihat sekelilingku merasakan kebahagiaan yang aku rasa. Dunia terasa amat damai. Ayah, Ibu, Anton, dan Amanda, membantuku keluar dari ruangan tempatku singgah untuk waktu yang panjang. Meninggalakannya sangat berat, karena bertahun-tahun ini aku habiskan waktu untuk berkarya, menangis, tertawa, kesakitan, bahkan dilamar di sini. Sekarang, selamat tinggal.
Sedikit gelisah menyertai dan tangan gemetaran berkeringat ketika memasuki lantai mesjid. Inginku adalah, merasakan sejukknya lantai ini, apalah daya tubuhku mati rasa. Penghulu dan tamu undangan berkumpul di tengah sana. Beberapa wartawan sigap mengambil gambar saat aku datang. Bantulah aku mengabadikan kejadian ini kawan. Rizky tersenyum menyambutku. Senyum yang menyilaukan pandangan hingga perlahan tatapanku kabur. Semua mata tertuju pada kami. Mataku berputar sekeliling melihat aura kebahagiaan di sekitar. Amanda berbisik, “Sesaat lagi, kakak akan menjadi yang halal bagi Kak Rizky. Tersenyumlah! I love you, Kak!” dan selanjutnya dia menghilang dari sampingku. Meja, Rizky, penghulu, saksi, dan ayah yang menjadi wali duduk di bawah mengitari meja, sementara aku tetap di kursi roda tercinta. Senyuman ayah seolah berbisik, apapun itu pilihanmu, walau berbeda dengan ayah dan ibu, kau membanggakan kami!
“Saya terima nikahnya Annissa Wildani binti Joseph Sakurta Christian, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, Al Qur’an khusus wanita, dan sepuluh gram mas murni, dibayar tunai.”
Sepuluh gram wujud penantian kami. Terima kasih Rizky. Kau tahu? Aku gemetaran bukan main, tanganku berkeringat sedari tadi semakin menjadi. Pandanganku kabur karena mungkin mataku penuh air berkaca.
“Bagaimana sah?”
“Sah!” “Sah!”
Terakhir ayah, perlahan diam dan, “Sah!”
“Alhamdulillahirobil’alamin.”
Air mataku menetes lebih dari bahagia. Ya Alloh, aku sudah menjadi yang halal bagi Rizky. Dia menatapku, tersenyum dan menggenggam jemariku, memasangkan cincin nikah di jari tengahku. Tanganku gemetaran walau tak merasa apapun. “Aku mencintaimu, istriku.”
Dibawah sadar, kakiku jatuh dari pedal kursi roda, menyentuh lantai mesjid. Apa ini? Aku merasakan sejukknya lantai mesjid. Dingin menusuk namun menambah kebahagiaanku. Jemariku seperti demikian, kini terasa hangat disentuh suamiku. Aku tak lagi mati rasa.
Kami beradu pandang dan saling tersenyum. Tapi pandanganku semakin kabur. Semakin tak bisa melihat jelas sekelilingku, perlahan menggelap.
Dia mencium lembut keningku. “Tanganmu berkeringat.” Aku mengedip, membukanya sekejap, lalu tersenyum, menutupnya lagi. Setelah ini, aku tak kuasa lagi membukanya. Tubuhku semakin lemah. Aku hanya bisa merasakan sejuknya lantai mesjid. Tidak, tidak, sekarang dinginnya makin menghilang. Aku tak lagi merasakan apapun, apa sekarang sudah malam? Ya Alloh.
“Cha?”
“Kak Chacha? Kak? Bangun, Kak! Bangun!”
#*#
“Kakak yakin, bahwa setiap manusia diciptakan karena mempunyai peran masing-masing untuk mengubah dunia. Itulah harapan kakak, ikut mengubah dunia. Bagi kakak yang sekarang terbatas, perannya adalah, menceritakan makna kehidupan bukan lagi hidup.
Dialah kakakku, yang sanggup berjuang dan berkelana jauh bahkan sampai ke dunia yang tidak pernah kita pernah lihat, karena kemauan dan harapannya yang tinggi. Aku mau seperti kakak, yang tak pernah gentar untuk berjuang dan mewujudkan harapan. Aku sekarang berjanji, akan belajar semaksimal kemampuanku untuk kemudian menjadi dokter, supaya aku bisa menyembuhkan kakak. Karena itu, teman-teman, ayo kita wujudkan harapan kita dan berkelana ke dunia yang tidak pernah kita tahu. Terim kasih.”
“Tepuk tangan untuk Amanda!” seru Bu Guru setelah Amanda selesai mebacakan karangan cita-citanya di depan kelas. Kelas pun menajadi riuh dengan tepukkan tangan semua murid. Air mata sedikit menetes di pelupuk mata Bu Guru. Ia tahu jelas bagaimana cerita itu.
“Terima kasih,” ujar Amanda sambil membungkukkan badannya lalu menghapus air mata yang dari tadi ia tahan.
#*#
Inikah perasaan wanita yang seutuhnya? Cintaku terbalas dengan suatu hal yang halal. Jika dapat, akan ku tulis dan ceritakan pada dunia, penantian terakhirku datang untuk melengkapi segala kurang dan harapanku yang tertunda lama. Terima kasih Ya Alloh, untuk dunia dan cerita yang bisa ku goreskan diantaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar